Sabtu, 06 Oktober 2012

Le Shan : Giant Buddha

Dua bulan yang lalu usai mengikuti tur Tibet, kami masih memiliki sisa 3 hari di Cheng Du. Berbekal informasi dari internet dan rekomendasi dari teman, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa hari kami dengan mengunjungi Le Shan: Giant Buddha dan Mount Emei.
Pagi-pagi kami check out dari hotel lalu naik taksi menuju terminal bus yang akan membawa kami ke Le Shan. Begitu turun dari taksi, terminal bus sudah ramai oleh penumpang dengan destinasi yang sama. Pemerintah Cina sepertinya sadar akan hal ini, menyediakan lebih dari ratusan armada bus yang jalan setiap setengah jam! Kami membeli tiket one way menuju Le Shan seharga RMB 50 (Sekitar 75 ribu, RMB 1 = 1500). Bus yang kami tumpangi terbilang bagus ada TV dan bersih. Dua jam kemudian kami tiba di kota Le Shan. Kota Le Shan sendiri sepertinya masih dalam tahap pembangunan, banyak gedung-gedung baru yang belum dihuni. Kami memutuskan untuk mengisi perut di salah satu restoran di Le Shan. Usai makan, kami bertanya pada pemilik restoran bagaimana cara menuju Giant Buddha. Si Pemilik restoran menyarankan kami untuk naik bus no 13 dari tempat kami turun tadi. Mengikuti saran pemiliik restoran, kami kembali ke tempat kami turun dan mendapati bus yang disebut tadi. Kali ini busnya tidak sebagus saat kami datang tetapi tarifnya cukup murah (RMB 1). Setelah cukup penuh, bus pun jalan. Di tengah jalan, bus berhenti dan mengangkut 1 orang penumpang wanita, yang ternyata bertugas seperti 'Guide'. Ia memberi informasi tentang tiket masuk Giant Buddha yang terbagi 2 jenis, lalu tempat penitipan tas beserta tarifnya, akhir dari penjelasannya itu, ia juga membagikan kami suvenir kecil berupa gantungan bertulis huruf Cina 'Fuo' yang berarti Dewa. Dan ia sama sekali tidak mengutip biaya! Atas informasi 'Guide tadi' kami memutuskan untuk menitip koper di salah satu tempat penitipan dengan tarif RMB 2. Benar saja, ternyata tiket masuk Giant Buddha terbagi 2 jenis, yaitu yang standar dan yang dapat melihat Giant Buddha. Kisaran harga tiket untuk yang standar RMB 90 dan untuk yang dapat melihat Giant Buddha RMB 120. Lantas bedanya apa? Untuk yang standar kita hanya dapat melihat komplek objek wisata Giant Buddha yang juga berisi pahatan-pahatan Buddha tapi versi lebih 'mini'. Sedangkan tiket yang satu lagi, kita dapat melihat semua objek wisata plus Giant Buddha yang terkenal itu. 

'Mini' Buddha

Berhubung sudah jauh-jauh, kami memutuskan untuk membeli tiket yang full saja. Di dalam komplek objek wisata Giant Buddha sendiri banyak sekali turis yang  berkelompok dengan Guide masing-masing. Dari pintu masuk kami sudah di 'sambut' beberapa Guide yang menawarkan jasa untuk mengajak kami berkeliling dengan membayar tarif tertentu. Kami pun menolak dengan halus, dan memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri. Komplek objek wisata Giant Buddha sendiri terbilang sangat besar dan penuh dengan papan petunjuk berbagai bahasa, seharian berjalan di dalam juga tidak akan habis! Banyak sekali pahatan patun-patung Buddha, ada yang di dalam goa ada yang di luar, ada tempat sembahyang, kolam ikan dan tempat beristirahat yang dilengkapi tempat berjualan. Untung saja kami sudah menitipkan koper di depan, karena kebayang repotnya menarik-narik koper sambil naik-turun tangga dan berjalan.

Giant Buddha 

Kami pun akhirnya sampai pada tempat Giant Buddha yang ternyata berada di  dekat kepala Sang Buddha. Untuk ke bawah, kami harus mengantri cukup panjang lagi. Berhubung antrian yang begitu panjang dan stamina yang sudah terkuras, kami memutuskan untuk tidak turun lagi. 

River View

Dari atas, kami dapat melihat sungai dan beberapa kapal yang sedang berlayar. Konon, dulu di dalam sungai tersebut ada Monster yang suka membuat banjir dan mencelakakan perahuperahu yang sedang berlayar. Jadi seorang biksu memutuskan untuk membuat patung Buddha ini dengan harapan dapat mengendalikan Monster tadi. Proyek ini sendiri sempat tertunda selama bertahun-tahun akibat masalah finansial. 


Di samping Giant Buddha tadi, ada sebuah kelenteng kecil yang sedang dibangun. Sewaktu perjalanan tadi, kami sempat melihat beberapa pekerja mengangkat sebuah kusen jendela. Sekitar enam pekerja mengangkat 1 kusen jendela sambil menaiki tangga. Terbayang ketika mereka memahat seluruh patung Buddha yang ada di dalam? Meski tiket masuknya cukup mahal, tapi worth to spent kok ;)


Jumat, 28 September 2012

Danau Lau Kawar yang Terlupakan




Judulnya agak sedikit seperti sinetron yah? Tapi memang itulah yang terjadi ketika pekan lalu saya dan tim kantor mengadakan acara kebersamaan di Danau Lau Kawar. Mulanya saat saya izin pada orang tua akan berangkat ke Lau Kawar, mereka bilang: "Buat apa ke sana? Dulu waktu muda kita udah pernah ke sana dan cuma lihat danau aja dan sepinya bukan main." Wah saya jadi agak goyah juga.
Rencananya, pulang dari kantor pukul 17.00 kami berangkat langsung tancap gas ke Brastagi, dengan estimasi pukul 19.30 sudah sampai di Brastagi dan masih sempat untuk masak-masak acara BBQ dan malamnya pesta durian! Rencana tinggal rencana... Pada hari H jam keberangkatan diundur lebih lama setengah jam, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pukul 17.40 kami baru jalan dari kantor dan tenyata... macet dimana-mana sampai ke arah Jamin Ginting. Ditambah hujan deras yang mengguyur kota Medan membuat jalanan semakin macet. Dalam hati kami tetap berharap agar Brastagi tidak turun hujan, karena bisa batal acara BBQnya. Yang tadinya berharap pukul 19.30 sampai di Brastagi, molor jadi pukul 21.00. 
Setelah bertanya pada beberapa warga, kami disarankan masuk di persimpangan Tugu Perjuangan Kota Brastagi melewati Kecamatan Simpang Empat menuju Danau Lau Kawar. Hampir kurang lebih empat puluh lima menit, kami sampai juga di Danau Lau Kawar dan langsung menuju Vila. Dalam kondisi letih, lapar ditambah kedinginan dan hujan yang ternyata juga mengguyur Kota Brastagi, kami harus mempersiapkan makanan. Jadilah dibagi tugas yang wanita mempersiapkan hidangan steamboat dan yang pria tugasnya BBQ. Suasana ricuh, berhubung kami berjumlah 15 orang dan hanya menyewa 1 Vila. Setengah jam kemudian, makanan semua siap disajikan ala kadarnya. Masih dengan batik yang melekat di tubuh, kami semua makan dengan riang. Usai menyantap makanan utama, lanjut dengan pesta Durian dan membersihkan seluruh peralatan memasak. Tibalah waktu tidur. Kamar hanya ada 2 ranjang dan di seluruh Vila hanya terdapat 1 kamar mandi, sementara kami ber-lima belas belum mandi. JENG JENG! Salah satu rekan segera menghubungi pengurus Vila untuk minta Extra Bed. Ada beberapa rekan yang mandi, ada juga yang tidak (termasuk saya, hehe). Pengurus Vila saja sampai terkejut melihat kami. Dengan adanya 3 Extra Bed dan 1 Sleeping Bed, sisa orang yang tidak dapat jatah terpaksa tidur di lantai alias 'susung gembung'. Saat itu sudah hampir pukul 12 malam. Kami rada menyesal juga kenapa nekad pergi ke Lau Kawar, danaunya tidak tampak sama sekali karena gelap tadi. Dan bisa di tebak, ada beberapa yang tidak bisa tidur ada yang hanya tidur-tidur ayam. Pukul 04.00 subuh salah satu teman kantor bangun karena tidak bisa tidur dan memutuskan untuk mandi saja, diikuti dengan teman-teman lain. Jadilah kami antri kamar mandi dari pukul empat pagi!
Perlahan, matahari mulai terbit dan pemandangan Danau yang semalam tidak kelihatan, mulai menunjukkan pesonanya. Ditemani Pop Mie sebagai sarapan dan pemandangan yang benar-benar indah adalah moemn yang terbayarkan setelah kelelahan semalam. Usai mandi, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sambil mengambil beberapa gambar.

Rumah Jeruk

Vila yang kamii tinggali mempunyai nama lain Rumah Jeruk. Saya kurang tahu darimana asal nama ini, dari bentuk tidak begitu mirip, sedangkan di belakang Vila memang ada perkebunan tapi bukan menanam jeruk melainkan tomat. Rumah Jeruk ini hanya ada 2 di Danau Laau Kawar dan menjanjikan pemandangan langsung menghadap Danau. Harga yang di tawarkan untuk menginap semalam cukup mahal menurut saya yaitu Rp. 1,280,000,- makanya kadang ada beberapa wisatawan yang memutuskan untuk ber-Kamping saja. 

Memancing di tengah Danau

Beberapa rekan saya memutuskan untuk menyewa sampan. Karena bosan menunggu antrian mengantri, mereka pun mencoba untuk memancing. Tapi apa daya mereka belum beruntung, tak ada satu ikan pun yang nyangkut di kail mereka. Ada juga sampan bermotor yang disewakan untuk berkeliling Danau.
Latar Belakang Gunung Sinabung

Saya pun tidak mau kalah untuk mencoba sensasi bersampan ria di tengah Danau. Air Danaunya berwarna kehijauan dan sangat tenang. Berada di tengah Danau sangat sepi, cocok untuk orang yang ingin beristirahat dari hiruk pikuk perkotaan. Meskipun weekend, tidak banyak pengunjung yang berada di Danau, hanya kami-kami saja. Batin saya sebenarnya sangat menyayangkan kondisi ini. Danau Lau Kawar sebenarnya punya potensi wisata yang sangat tinggi, akan tetapi jalan untuk masuk Vila masih rusak, meskipun jalan menuju Danau sudah rapi di aspal. Keindahan alam Danau Lau Kawar bisa dikembangkan lebih jauh, dengan berpromosi misalnya. Karena dulu Danau ini cukup tersohor, tetapi belakangan namanya malah terlupakan. Mudah-Mudahan saja pemerintah kota setempat bisa lebih serius dalam perkembangan objek wisata ini. Amin.


Sabtu, 01 September 2012

Pesta Pernikahan Tibetan


Malam pertama kami tiba di Lhasa, di hotel yang kami tempati disewa untuk acara pernikahan. Awalnya saya tidak tahu itu sebuah acara pernikahan, karena dari luar memang tidak tampak seperti pesta pernikahan pada umumnya. Lalu saya mendekati seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari lokasi, rupanya ia salah satu wisatawan yang berasal dari Taiwan. Dia sedang menunggu teman-temannya yang tampak sangat penasaran dengan pesta ini. Tidak lama kemudian, keluar dua wanita Tibetan, satu agak tua dan satu lebih muda. Musik pun mulai berdentang dan jogetlah mereka disusul teman-teman turis asal Taiwan ini. Mereka menari mengikuti gerakan si wanita tua yang belakangan saya tahu bahwa dia adalah ibunya mempelai. 

Mereka menari mengelilingi asap


Usai tarian habis, saya mengelilingi lokasi pesta. Lokasinya sendiri terdiri dari beberapa ruangan, ruangan-ruangan itu digunakan untuk makan, bermain mahyong, tempat masak atau bersembahyang. Ada satu ruangan paling besar (seperti aula) yang merupakan tempat kedua mempelai berada. Sayang sekali saya tidak sempat melihat kedua mempelai.

Menu makanan

Menu makanan yang dipilih adalah menu prasmanan dengan jenis sayur yang sangaattt banyaak. Kurang lebih ada sekitar lima puluhan jenis makanan, lima jenis kue/manisan. Makananya di letakkan di luar, mungkin di dalam ruangan tidak cukup saking banyaknya. Para tamu yang datang dipersilahkan mengambil makanan, kemudian menyantapnya di ruangan-ruangan tadi. Dengan ramah, ibu mempelai mempersilakan kami untuk menyicipi hidangan.


Takut jenis hidangannya tidak pas di lidah, maka saya memutuskan untuk tidak menyicipinya. Dan hanya mengabadikannya saja. Hotel tempat kami menginap ini meski hanya berbintang 3 namun sering di sewa untuk acara seperti ini, buktinya beberapa hari saya menginap disana selalu ada pesta pernikahan. 

NB: Foto diambil pukul 7 malam (masih terang ya!)

Kamis, 30 Agustus 2012

Jalan-Jalan: Surprising Tibet



Setelah menempuh perjalanan udara selama 2 jam dari Cheng Du, tepat di hari kemerdekaan Indonesia kemarin kami mendarat di Lhasa. Berhubung pesawat Air China yang kami tumpangi tidak begitu full, sesaat pilot mengumumkan pesawat akan mendarat sebentar lagi saya langsung pindah tempat duduk yang menghadap kaca. Dari atas, saya dapat melihat dataran Tibet dikelilingi oleh pegunungan Himalaya. Baru kali ini saya lihat pegunungan segitu banyaknya. Dan begitu kami mendarat, udara dingin langsung menyergap meski sedang musim panas. Kami disambut oleh guide local yang bernama Zhuo Ga. Ia mengalungi kami syal putih sebagai penyambutan. Kami keluar dari bandara melewati jalan tol di Tibet yang ternyata masih baru dan bersih, menurut Zhuo Ga sebelum jalan tol ini dibuat dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk sampai di Bandara Gong Ga. Tetapi sekarang hanya memakan waktu 45 menit dan hebatnya tidak dikenakan tarif sama sekali!  Hari pertama tiba adalah hari penyesuaian diri, kami disarankan untuk istirahat mengingat perbedaan ketinggian yang cukup drastis. Maklum saja kota Lhasa sendiri berada di ketinggian 4000an dpl. Berhubung rasa lapar dan penasaran dengan kota Lhasa, maka kami memutuskan untuk berjalan di sekitar hotel. Baru berjalan tidak sampai satu jam, mendadak kepala kami terasa berat dan badan rasanya lemas sekali. Setelah itu kami tidak berani banyak bergerak dan istirahat di hotel. Keesokan harinya kami diajak melihat Potala Palace yang terkenal itu. Potala Palace adalah istana musim dingin Dalai Lama yang dibangun oleh King Songsten Gampo. Untuk masuk ke dalam Potala Palace sendiri diberi batasan waktu, karena jumlah wisatawan yang terlalu banyak sementara di Potala Palace pintu-pintunya kecil. Di sekitar Potala Palace, banyak sekali Tibetan yang berkeliling untuk berdoa dan jumlahnya harus ganjil. Isi dari Potala Palace kebanyakan peninggalan Dalai Lama seperti ruang penyambutan, tempat semedi dan… berton-ton emas! Jadi emas-emas tadi berbentuk Stupa Funeral, yang dihiasi batu giok, permata dll dan isinya jenazah-jenazah Dalai Lama! Selama tiga hari di Lhasa, kebanyakan kami mengunjungi Monastery (tempat beribadah) ada Rongphu Monastery, Drepung Monastery, Sera Monastery yang isinya rata-rata sama: beberapa patung Buddha, Stupa Funeral dan tiga raja yang dianggap berjasa untuk Tibet salah satunya King Songsten Gampo tadi. Kami juga mengunjungi Barkhor street dimana kita dapat membeli berbagai pernak-pernik khas Tibetan. 



Baru di hari keempat kami diajak melihat Namtso Lake. Meski bukan danau terbesar di Tibet tetapi memiliki pemandangan yang indah, airnya jernih berwarna kebiru-biruan. Sepanjang perjalanan Lhasa-Gyangtse kami disuguhi pemandangan mulai dari pegunungan yang diselimuti gletser abadi, danau, pacuan kuda khas Tibetan dan hewan-hewan yang merumput. Kami menghabiskan malam di Gyangtse untuk perjalanan menuju Ting Ri, tempat terdekat melihat Everest. Kami diantar ke hotel untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan selama 4 jam. Karena bosan, kami berjalan-jalan di sekitar hotel yang ternyata sebuah daerah kecil yang hanya memiliki 3 jalan. Ting Ri sendiri berada di ketinggian 5000an dpl, suhunya mencapai 7 derajat celcius meskipun sedang musim panas! Hotel di Ting Ri menyediakan air panas pukul 9-12 malam, tetapi setelah di tunggu-tunggu air panas tak juga keluar malah semakin malam listrik semakin minim. Puncaknya adalah subuh, listrik seluruh hotel mati total! Alhasil kami membereskan barang-barang dan sarapan dengan menggunakan lilin. Rupanya bukan hanya hotel kami yang seperti itu, tetapi seluruh kota! Mungkin karena krisis listrik jadi pemerintah mematikan listrik pada jam-jam tertentu. Ampun deh. Setelah melihat Everest, kami langsung kembali ke Shigatse. Di Shigatse kami diajak melihat Ta Shi Lun Po Monastery yang merupakan tempat Benji Lama. Menurut Zhuo Ga, Dalai Lama dan Benji Lama mempunyai guru yang sama. Dalai Lama lebih 'populer' di Lhasa sedangkan Benji Lama di Shigatse. Di sana juga kami mengintip para biksu yang sedang asyik berlatih untuk pementasan. Esoknya kami kembali ke Lhasa. Satu hal yang menarik selama perjalanan pulang adalah cara pemerintah Cina mengatasi kecelakaan. Jadi perjalanan Shigatse-Lhasa ditaksir memakan waktu 6 jam, setiap berhenti di posko, kami ditandai jam masuknya dan jam boleh keluar di posko selanjutnya. Terus menerus hingga 4 posko. Jika kedapatan terlalu awal tiba di posko selanjutnya maka akan di denda 200RMB tiap menitnya. Selain mengurangi kecelakaan, membuat masyarakat sekitar (tempat  menghabiskan waktu) dapat mencari nafkah dengan berjualan. Di posko-posko itu saya singgah untuk ke toilet yang ternyata lebih parah dari Toilet di Cina! Tidak memiliki atap, tidak bersekat dan hanya terdapat 2 lubang untuk buang air. Iseng-iseng saya bertanya pada Zhuo Ga, bagaimana mereka mandi jika toilet mereka seperti itu? Menurut Zhuo Ga, mereka mandi setahun sekali! (jleb) itu juga menunggu aliran sungai tidak deras. Pantas di Tibet banyak sekali lalat berterbangan. Oh ya, langit Tibet baru gelap mejelang pukul 9 malam dan terang pukul 8 pagi. Tibet benar-benar surprising buat saya! Sampai jumpa di cerita Jalan-Jalan berikutnya. Amin.

Tips:
- Ke Tibet HARUS dengan tur dan memiliki Tibet Travel Permit (TTB).
- Bawalah paspor dan TTB selama di Tibet, karena ada pemeriksaan sewaktu-waktu.
- Cuaca di Tibet tidak menentu, jadi bawalah pakaian hangat untuk berjaga-jaga.
- Ada beberapa tempat di Tibet yang dilarang untuk mengambil gambar, jadi sebaiknya bertanya sebelum mengambil gambar.
- Jika sulit bernafas, di setiap tempat ada di jual tabung Oksigen dengan harga beragam.

Kamis, 07 Juni 2012

Resensi Novel : Selebriti by Alberthiene Endah


Novel yang saya baca kali ini ditulis oleh salah satu pengarang Top Indonesia, mba AE. Sebelum cetak ulang, novel Selebriti adalah salah satu novel yang sulit untuk di cari di rak buku. Bahkan di beberapa toko buku Gramedia tidak memiliki daftar novel ini di mesin pencari mereka. Dan ternyata setelah cetak ulang dengan cover baru, novel Selebriti sukses saya baca dalam dua hari.
Sinopsisnya:
Aisyah alias Icha, frustasi dengan hidup di desanya. Satu-satunya hal yang membuatnya lupa dengan rasa frustasinya adalah tayangan infotainment. Dari sana ia punya cita-cita yang tak lain adalah  berdekatan dengan dunia selebriti, menjadi bagian di dalamnya. Apalagi Deden, mantan pacarnya yang sudah menjadi make up artis dan homo, kini hidupnya lebih makmur. Nasib akhirnya membawa Icha ke Jakarta dan menjadi asisten artis! Dia pun menjelajahi nasib menjadi asisten Poppy, seorang penyanyi dangdut yang hobi mendekati pria-pria kaya yang sudah beristri ; Boyke, penyanyi rap penuh bakat tapi memiliki ketergantungan obat ; Donna, diva muda yang sangat sukses tapi psikopat dan kesepian. Apakah mimpi Icha tentang dunia selebriti seindah yang ia bayangkan? Beberapa peristiwa memebuatnya syok dan menerbangkannya ke gambaran yang sangat jauh dari yang ia duga. Ah, kesalahan itu terjadi pada segelintir selebriti saja. Tapi itu sudah cukup membawanya ke pencerahan baru dalam hidupnya!
Seperti ciri khas gaya penulisan Mba AE yang mengambil sudut pandang orang pertama dan dengan gaya bahasa yang sedikit hiperbola, Mba AE sukses membuat saya senyum-senyum sendiri membaca kisah Icha. Bagaimana antusiasnya dia saat bertemu dengan artis idolanya, berganti pengalaman menjadi asisten artis dari satu ke lainnya dan bagaimana ketika ia berusaha meraih impiannya. Meski ada beberapa kejadian yang  dirasa kurang masuk akal, seperti ketika pertemuan Icha dan Boyke serta kurang dijelaskan hubungan Reza dan Boyke. Lalu ketika Poppy dan Icha melarikan diri, adegannya kurang detil. Namun, novel Selebriti sangat layak untuk dibaca. Karena kisahnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.

Rabu, 25 April 2012

Sembilan


Matanya terus menerus menatap pada satu titik, tanpa menghiraukan percakapan dua ibu-ibu paruh baya di sampingnya. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, meski bau menyengat keluar dari ketiak-ketiak yang bergelantungan. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, walau #Bus Kota yang ia tumpangi hampir oleng karena terlalu sesak oleh penumpang. Sedangkan pikirannya  terdesak oleh uang setoran yang harus ia berikan sore ini. Tidak ada cara lain pikirnya. Usianya baru sembilan tahun saat itu. Ia mengintip sedikit ke wajah si pemilik dompet yang terlihat sedang memandang ke arah luar. Perlahan ia berusaha mengeluarkan dompet yang memang sudah menyembul dari balik kantong celana. Dengan satu tarikan, dompet itu kini telah berpindah tempat. Segera ia masukan ke dalam celana. Celana yang sudah berlubang di sana sini. Tapi si pemilik celana sama sekali belum berniat menggantinya. Ia melipat tangannya dan berjalan mundur menembus kumpulan manusia yang sedang berdiri di dalam #Bus Kota. Begitu melihat perempatan lampu merah, ia segera turun dan berlari. Kakinya baru berhenti berlari saat ia merasa aman untuk memeriksa dompet tadi. Ada beberapa lembar uang segar, kartu identitas penduduk, kartu nama, dan sebuah foto keluarga. Ia memutuskan untuk membakar kartu-kartu dan foto itu, sedangkan dompetnya ia ambil beserta uang di dalamnya. Bodoh juga pria tadi, uang segitu cukup untuk naik taksi pikirnya sambil memasukkan  uang tadi ke dalam ke sakunya. Tapi uang tadi tidak bertahan lama di sakunya. Adalah Bang Eno, preman terminal dan para anak buahnya yang mengambilnya.
“Lumayan untuk uang keamanan tiga hari!” kata salah satu anak buah Bang Eno sambil tertawa puas.
Anak laki-laki itu mengerang, memberontak, mengigit dan apa saja yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan sisa-sisa jerih payahnya. Tapi semakin keras ia memberontak, semakin keras juga pukulan yang ia terima. Saat itu cita-citanya adalah menjadi preman ketika ia dewasa nanti. Berkuasa.

***

Umurnya sembilan belas ketika ia mengganti cita-citanya. Tak ada lagi terminal, Bang Eno atau #Bus kota tempat ia mencopet dulu. Sekarang tempat itu telah rata oleh gedung perkantoran bertingkat. Hanya faktor keberuntungan yang membuat ia ddapat bekerja di dalamnya. Sebagai tukang suruh, atau bahasa kerennya Office Boy. Berhubung ada dua orang yang bernama sama dengannya, maka mereka menjulukinya Robin si OB. Pekerjaan itu tidaklah menjanjikan. Gajinya juga tidak sebanding dengan hasil copetannya dulu. Tapi satu hal, ia tidak perlu membagi gajinya kepada siapapun lagi. Dan para pegawai serta bos-bos di kantor sering memuji kopi dan indomie buatannya.
“Kamu harus buka kedai kopi, Bin.” puji Neina sekertaris Manager Personalia, ketika ia mencicipi kopi buatan Robin.
“Dan warung Indomie Kornet” tambah Robin, Staff Administrasi yang namanya sama dengan dirinya.
Berawal dari pujian-pujian itu, Robin si OB memiliki cita-cita baru. Membuka kedai kopi.

***

Usianya dua puluh sembilan ketika ia berhasil membuka Kedai Kopi Robin Hut, di salah satu kawasan perkantoran elite di ibu kota. Setahun setelah ia memutuskan cita-cita terakhirnya, Robin segera berupaya untuk mewujudkannya. Ia keluar dari pekerjaannya dan berangkat ke negeri tetangga menjadi TKW. Dengan janji bayaran dan fasilitas yang lebih tinggi, Robin mulai menyisihkan sedikit demi sedikit hasil jerih payahnya. Sewaktu libur, ia tidak pulang ke Indonesia. Toh aku juga tidak punya keluarga pikirnya. Waktu kosong itu, dimanfaatkan dengan bekerja paruh waktu di kedai kopi. Jika sebelumnya ia hanya memikirkan keinginan-keinginan, kali ini ia berusaha mencapainya. Setelah delapan tahun bekerja siang malam, jerih payahnya terbayar dengan berdirinya Kedai Kopi miliknya. Dan dari sana juga ia bertemu Sandra, seorang Banker muda yang sering datang ngopi di kedai. Sandra memang lebih dewasa lima tahun dari Robin, tapi perbedaan itu yang justru membuat Robin memikirkan cita-cita lainnya. Meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

***

Wajah Robin terlihat seperti orang yang berusia empat puluh sembilan tahun, padahal usia ia seseungguhnya adalah tiga puluh sembilan tahun. Ia mengalami penuaan dini karena rasa bersalah yang terus menghantuinya. Bagaimana tidak, tepat di hari ia melamar Sandra di rumahnya, ia bertemu dengan orang yang ia copet pertama kalinya di dalam #Bus Kota dua puluh tahun yang lalu. Orang itu adalah ayah kandung Sandra. Tentu saja calon mertuanya itu tidak dapat mengenali dirinya, berbeda dengan dirinya yang akan terus mengingat hari itu. Dan dari Sandra ia mendengar sebuah cerita. Cerita yang akan menggenapi #Cerita hari ini. Bahwa, di hari ibu kandungnya meninggal, ayahnya menarik sejumlah uang di bank untuk membeli darah. Tetapi siapa sangka, di tengah perjalanan kembali ke rumah sakit, ayahnya dicopet. Seluruh isi dompet, kartu identitas lenyap dalam sekejap. Akhirnya ibunya kehabisan darah dan meninggal. Sejak mendengar cerita itu, Robin selalu dihantui perasaan bersalah. Ia tidak percaya diri untuk mewujudkan cita-cita terakhirnya, yaitu menikahi Sandra. 

Jumat, 20 April 2012

Ikan Kaca



#Cerita hari ini tidak akan ada, jika setengah tahun yang lalu Raka tidak mengambil cuti untuk bulan madunya. Raka adalah salah satu rekanku di sebuah koran internasional. Jadi, hari selasa enam bulan yang lalu, aku berangkat menggantikan Raka ke sebuah perkampungan di daerah pesisir. Total 13 jam aku berada di perjalanan. Dua kali ganti kereta api dan sekali menumpang mobil angkutan barang untuk sampai di perkampungan itu. Tentunya rasa lelah luar biasa menghantamku, namun ini bagian dari resiko pekerjaan yang kupilih. Sebagai wartawan, aku harus mencari informasi hingga ke lubang tikus sekalipun. Angin dingin dan gerimis menyambut kedatanganku di perkampungan itu. Setelah bertanya kepada warga sekitar, aku dituntun menuju rumah kepala desa.
“Apa yang membuat kau datang kemari?” tanyanya ketika melihat kartu identitasku.
Kuceritakan apa yang membuatku rela naik kereta api selama sepuluh jam, ditambah tiga jam berada di samping supir angkutan barang.
“Jadi orang kota mulai tertarik dengan ikan kaca kami?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku mengangguk “Kalau diizinkan, saya akan menginap 2 malam di rumah bapak dan ikut nelayan pergi menangkap ikan kaca.” kataku langsung. Rasa kantuk dan lelah selama perjalanan mulai mengerogotiku. Kepala desa terlihat menimbang sejenak “Kamu bisa tidur dengan Budi, anak laki-laki saya. Soal izin ikut berlayar, kau tanyakan sendiri pada para nelayan itu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Ahmat, kepala desa. Hal pertama yang kulakukan adalah membasuh diri, mengingat kurang lebih 13 jam aku belum membersihkan diri. Untuk sementara, badanku kembali segar. Aku meminta Budi untuk menemaniku menemui para nelayan. Seperti kata kepala desa, agak sulit membujuk mereka. Namun setelah kujanjikan akan ikut membayar sewa kapal, mereka setuju.

***
Bergulung-gulung ombak menghantam kapal kami. Dengan pencahayaan seadanya, kapal kami menjadi terang di antara gelapnya pagi. Perutku mulai terasa mual dan angin dingin membuat wajahku kebas. Entah berapa kali air masuk ke dalam kapal kami. Bukan perkara mudah menangkap ikan batinku. Setelah beberapa saat, kapal pun berhenti. Dengan terlatih, para nelayan mulai menebarkan jala dan setelah penuh, jala akan diangkat dengan cara ditarik. Aku ikut membantu mereka menarik jala. Kulihat dari jaring-jaring jala itu, sesuatu yang berkilauan. Ikan kaca. Aku mendekatkan diri berusaha melihat lebih dekat. Kulit ikan itu seperti dibalut aluminium. Siripnya bening, dan panjangnya sekitar 90 cm. Segera ku keluarkan kamera untuk mengabadikan ikan kaca itu. Entah apa rasanya pikirku. Kesempatan mencicipi ikan kaca justru datang malamnya. Budi mengajakku ke warung milik pacarnya.
“Kenalin, ini Fitri pacarku” kata Budi.
Gadis itu tersenyum dan mengulang namanya.
“Satria” kataku memperkenalkan diri.
Fitri membawa tiga piring nasi, satu lalapan dan tiga ekor ikan kaca yang telah dimasak.
“Ayo dicoba” tawar Fitri yang segeraku iyakan.
Memang hanya ikan kaca itu yang membuatku penasaran. Sebelum mencoba, aku mengeluarkan kamera dan mengambil gambar masakan Fitri. Rasanya seperti ikan biasa, tapi dagingnya lembut dan segar.
“Enak kan? Di kampung ini, warung Fitri terkenal dengan masakan ikan kaca bakarnya” kata Budi sembari berpromosi.
Aku mengangguk. “Enak banget! Tapi rasanya sedikit manis ya?”
Fitri dengan semangat menceritakan proses pembuatan ikan bakarnya. Suaranya berbaur dengan hujan deras di luar. Hingga kami selesai makan, hujan masih saja deras. Membuat aku tak bisa pulang dan beristirahat. Sedangkan Budi, terlihat asyik mengobrol dengan pacarnya.
“Jadi ibu kota itu seperti apa?” tanya Fitri tiba-tiba.
Bingung harus menjawab apa, aku mengambil kameraku dan memberikannya pada Fitri “Di dalam ada foto ibu kota”
Ia dan Budi melihat dengan antusias. Di dalam kamera itu ada foto gedung kantorku, foto-foto demonstran yang menolak kebijakan pemerintah, foto jembatan rusak, foto banjir dan segala sesuatu yang kuliput.
“#Matahari yang cantik” gumam Fitri.
Rupanya mereka terhenti di foto yang iseng kuambil dari atap kantorku. Matahari senja dikelilingi gedung bertingkat.
“Suatu saat aku akan melihatnya langsung” kata Fitri sambil mengembalikan kameraku.
“Kita” tambah Budi mantap.
Aku menatap mereka berdua “Melihat ibu kota?”
Fitri menggeleng. “Melihat #Matahari”
Kali ini aku tertegun. “Memang di sini tidak ada #Matahari?”
“Memangnya kamu pernah melihat #Matahari di sini?” tanya Budi balik.
Memang selama dua hari ini, langit terlihat mendung. Tapi aku mengira itu karena musim hujan.
“Selama dua puluh tahun aku tinggal disini, tidak pernah sekalipun #Matahari terbit. Kata ibuku, mungkin jika langit kami terang, pasti laut kami akan bercahaya karena terpantul oleh kulit ikan kaca”
Aku membayangkan ucapan Fitri. Sepanjang malam kami sibuk membahas 'keajaiban' di kampung mereka. Dalam hati aku mencatat setiap informasi baru yang mungkin berguna untuk artikelku.

***

Kereta api itu berjalan lambat. Kereta api yang sama ketika membawaku enam bulan yang lalu, tapi kali ini dengan penumpang berbeda. Dari jauh, aku melihat Budi dan Fitri tergopoh-gopoh dengan bawaan mereka. Segera aku menghampiri mereka.
“Satria!” teriak Budi.
Hari ini, enam bulan sejak pertemuanku dengan Fitri dan Bayu, kami berjumpa kembali. Dari surat yang dikirim Fitri sebelum mereka datang, ia menceritakan bahwa sejak kedatanganku enam bulan yang lalu, hidup mereka berubah. Banyak orang asing yang penasaran dengan ikan kaca, dan ingin mencicipinya langsung. Karena itu, warung ikan kaca bakar milik Fitri mulai ramai dipenuhi wisatawan. Bahkan menteri perikanan sempat datang berkunjung kesana. Jalanan ikut di aspal, karena waktu itu menteri akan datang. Menteri juga berjanji akan membantu mereka dalam mendapatkan listrik yang memadai. Pendapatan penduduk pun sedikit membaik, karena mereka juga menyediakan penginapan di rumah mereka. #Matahari tetap tidak terbit di perkampungan itu, tapi secercah harapan baru terbit di hati setiap penduduk perkampungan.
“Ayo! #Matahari sudah menunggu kalian.” kataku. Oh ya, istriku juga bernama #Matahari.

Resensi Novel: I Hate Rich Men


Berhubung GPU memberikan diskon dalam rangka ultah yang ke 38, tentu saya ikut memborong buku-buku incaran. Salah satunya adalah novel I Hate Rich Men. Dalam dua hari, saya sukses melahap habis novel ini. Apalagi kalau bukan rasa penasaran dengan kisah Miranda dan Adrian. Dan Virginia sukses menuliskan bab demi bab dengan rapi dan diselipi kejutan-kejutan yang tak terduga! Membuat saya ingin terus membalik halaman demi halaman hingga akhir. Akhir dari novel yang biasa selalu di tunggu-tunggu juga sangat memuaskan. Novel ini saya beri angka 4.5 dari 5, berikut sinopsisnya versi saya.

Ditinggal mati kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan mengharuskan Miranda menjadi kakak sekaligus single parent untuk Nino. Untungnya Nino bukan tipikal anak bandel, malah membanggakan Miranda. Nino adalah juara pertama di sekolahnya dan mendapat beasiswa ke Amerika! Yang berarti akan membuat Miranda berpisah dari adiknya selama 4 tahun lamanya. Tentu saja perang batin melanda Miranda, karena selama ini mereka belum pernah berpisah dalam jangka waktu yang lama apalagi terpisah oleh jutaan kilometer. Dan sebelum mereka benar-benar akan berpisah, Nino akan pergi berwisata ke Bali selama sepuluh hari dalam rangka perpisahan murid kelas 12. Miranda menganggap itu sebagai latihan kecil sebelum Nino berangkat ke Amerika.
Tepat di hari keberangkatan Nino ke Bali, Miranda diculik!
Betapa terkejutnya Miranda ketika ia membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di Bali, satu hotel dengan Nino dan tentu saja penculiknya! Penculiknya adalah Adrian Aditomo. Seorang konglomerat yang namanya sering wara wiri di kolom-kolom majalah bisnis maupun lifestyle. Miranda pernah bertemu sekali dengan Adrian, tapi sayang pertemuan pertama itu tidak bisa dibilang baik. Tapi itu bukan alasan Adrian menculik Miranda. Adrian menuduh Nino merebut tunangannya. Sontak Miranda tidak percaya, secara Nino baru berusia 17 tahun dan tidak mungkin menyukai wanita yang lebih tua darinya apalagi milik orang lain! Demi mencari tahu kebenaran, Miranda sepakat dengan Adrian untuk memata-matai Nino. Selama 10 hari di Bali, berduaan dan disuguhi pemandangan yang indah, membuat Miranda justru jatuh cinta pada Adrian. Tapi perasaan itu segera ditepisnya jauh-jauh karena ia membenci pria kaya bahkan jauh sebelum ia bertemu Adrian. Pria kaya terlalu arogan dan biang masalah dalam hidupnya. Ditambah Adrian telah bertunangan. Tidak ada dalam kamusnya merebut milik orang lain. Walau begitu pikirannya menyuruh ia untuk menjauhi Adrian, sementara perasaannya berkata sebaliknya. Mana yang akan dipilih Miranda?



Rabu, 11 April 2012

Gadis Berpayung Oranye


#Cerita hari ini tentang seorang gadis berpayung oranye. Dari mama aku tahu kalau rumah di ujung jalan itu telah ditempati keluarga baru. Keluarga gadis itu. Kesempatan berkenalan kudapat dari tempat les piano, Madam Irama. Pemiliknya seorang wanita tengah baya bernama Irama, dia terkenal akan kedisiplinannya dalam berlatih dan mengajar. Gadis itu seorang pianis yang berbakat. Lewat jadwal latihan yang ketat, dia selalu berhasil mendapat peringkat pertama. Karena tempat les Madam Irama berada di dalam komplek perumahan kami, setiap pulang les kami selalu berjalan pulang. Dia di depan dengan payung oranyenya dan aku di belakang memandanginya. Selalu begitu, meski tidak ada hujan dia tetap dengan payung oranyenya. Dua hari dalam seminggu kami bertemu dan hanya melontarkan senyum kecil. Begitu seterusnya hingga suatu hari di musim hujan.
Dia dengan payung oranyenya telah bersiap pulang sementara aku duduk melamun diiringi tumpahan hujan.
“Mau bareng?” tanya gadis itu lembut.
Aku menengadah memandang wajahnya yang sedang tersenyum lalu beralih ke arah langit. Sudah setengah jam dan belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Pandanganku terhenti pada payung oranye itu.
“Payungku cukup lebar untuk kita berdua” katanya lagi seolah dapat membaca pikiranku.
Buru-buru aku tersenyum “Aku mau. Makasih, sebelumnya....”
Gadis itu balas tersenyum “Risna, namaku Risna.”
“Namaku, Jingga” jawabku. Sebenarnya aku sudah tahu nama gadis itu. Cuma rasanya kurang pas jika aku langsung menyebut namanya karena kami belum pernah berkenalan resmi.
Sejak saat itu kami jadi akrab. Risna, gadis yang menyenangkan dan tidak pelit ilmu. Kadang, aku diajak bertandang ke rumahnya yang bekas rumah Bu Cokro. Rumah itu tidak terlalu banyak mengalami perubahan, hanya beberapa perabot yang letaknya diubah dan warna dinding yang dicat baru. Ibunya Risna, tante Eni adalah orang yang pendiam. Tapi pandai memasak. Dia tidak bisa membiarkan tamu pulang dengan perut kosong. Risna, punya saudara kembar. Namanya Risma.
“Kalian seperti pinang dibelah dua” komentarku usai berkenalan dengan Risma.
Risna tersenyum seperti biasa. “Ibuku kadang tidak bisa membedakan kami”
Aku tidak terkejut. Memang mereka terlampau mirip. Mulai dari wajah, potongan rambut, bahkan belahan rambut semua persis. Secara fisik mereka persis. Tapi dari segi sifat jelas berlawanan. Seperti kedua ujung #Magnet yang saling bertolak belakang. Itu kusadari setelah beberapa kali main ke rumah Risna. Jika Risna kelihatan lemah, justru Risma sebaliknya. Dari mata dan gerak-geriknya, Risma terlihat sangat.... liar. Pulang ke rumah selalu bersama segerombolan teman lelaki dan itu pun hanya untuk mengisi perut dengan masakan tante Eni. Risna kelihatan takut dengan adik kembarnya itu.
“Apa rasanya punya saudara kembar?” tanyaku suatu ketika.
Risna berhenti memainkan piano. Wajahnya balik memandangku. “Sama seperti mempunyai saudara lelaki”
Pikiranku melayang pada, Biru. Abang lelakiku.
“Aku punya seorang abang, tapi kami berbeda 10 tahun. Dan dia sudah lama merantau” kataku.
“Risma itu orangnya nekad dan temannya semua laki-laki. Sepertinya dia mempunyai sebuah geng dan dia punya kuasa yang cukup tinggi di sana”
“Dari mana kamu tahu?”
Risna mengangkat bahu “Entah. Perasaanku bilang seperti itu”
Kata orang, saudara kembar memiliki kontak batin. Mungkin sama seperti hubungan Risna dan Risma.
“Aku beri tahu satu rahasia” kata Risna tiba-tiba.
“Tentang?” tanyaku heran.
Risna menjulurkan tangan kanannya, perlahan ia membuka telapak tangannya “Lihat, tahi lalat ini punyaku. Punya Risma ada di sebelah kiri telapak tangannya. Itu cara membedakan kami”
Kami bertatapan lama. “Aku juga punya rahasia” kataku pada akhirnya. Aku menceritakan tabungan yang rutin dikirim kak Biru, tabungan itu sengaja dikirim oleh kak Biru untuk biaya pendidikanku kelak. Dan aku menceritakan itu pada Risna, karena dia mempercayaiku.

*****
Sehari sebelum ujian piano Grade 8 dimulai, Risna tiba-tiba mendatangiku. Tepat dua bulan setelah aku menceritakan soal tabungan yang dikirim kak Biru.
“Jingga, kamu percaya padaku kan?” tanya Risna.
Aku mengangguk mantap.
“Pinjami aku uang”
Jeda sesaat sebelum Risna melanjutkan “Mama sakit dan itu semua gara-gara Risma. Dia ketahuan menunggak uang sekolah selama tiga bulan. Dan sering mencuri uang mama”. Sebulir air mata mengalir di pipinya.
“Kamu butuh berapa?” tanyaku.
Tangan kanan Risna membentuk angka lima “Lima juta. Untuk membayar uang sekolah dan membawa mama berobat”
Tidak ada tahi lalat di sana. Mendadak wajahku kaku. “Kamu bukan Risna” kataku dingin.
“Apa maksudmu?” tanya Risma.
Kuambil telapak tangan kirinya dan menunjukkan tahi lalat itu. Sontak Risma menarik tangannya kembali. “Brengsek, jadi Risna memberitahu rahasia kami” Risma mendengus marah. Tanpa banyak bicara, dia langsung berjalan keluar rumah. Tentu saja tanpa payung oranye.

*****  
Ruang meeting hotel berbintang sekarang beralih fungsi menjadi tempat ujian piano Grade 8. Aku mendapat giliran ketiga untuk tampil. Madam Irama telah sibuk mendata murid dan mendampingi mereka. Kegugupan membanjiri kami dan aku yakin itu juga yang dirasakan Madam Irama. Aku sukses memainkan 3 lagu yang menjadi materi ujian sekaligus bernyanyi solfegio. Madam Irama menyambutku dengan penuh senyuman usai tampil.
“Bagus, Jingga” pujinya. Aku tersenyum. Dari sudut mataku, aku menangkap sosok Risna sedang duduk menanti antrian. Kalau tidak salah dia mendapat giliran ketujuh untuk tampil. Perlahan aku menghampirinya, di luar hujan mulai turun. Risna terlihat pucat dan terkejut ketika aku berada di sisinya.
“Ris, kamu baik-baik aja”
“Risma dalam bahaya, Jingga. Aku harus pergi menolongnya” katanya sambil bangkit dari kursinya. Madam Irama tampaknya tidak memperhatikan kami.
“Tenang dulu, Ris. Memangnya kamu tahu Risma dimana?” cegatku.
“Aku nggak tahu. Tapi aku harus pergi. Perasaanku benar-benar nggak enak” katanya sambil berlari meninggalkanku.
Dua kali aku berteriak memanggilnya, namun ia terus berlari. Payung oranye tertinggal di kursi Risna. Segera aku menyambarnya dan berlari menyusul. Di luar hujan turun sangat lebat, aku membuka payung oranye itu dan mencari Risna. Terlihat beberapa satpam berkumpul mengerubungi sesuatu. Penasaran aku mendekat, dan betapa paniknya aku saat mendapati tubuh Risna bersimbah darah dan tergeletak di aspal.

*****
Tahi lalat itu kini sepasang. Aneh memang. Tapi itulah yang kulihat ketika Risma menaburkan bunga di makam Risna. Baru kali itu aku melihat Risma menangis tersedu-sedu. Sedangkan tante Eni lebih terlihat seperti orang linglung. Raganya berada di pemakaman tetapi jiwanya mati bersama Risna. Dan baru kali itu, aku melihat sosok ayah kandung Risna-Risma. Menurut tetannga, tante Eni adalah istri simpanan yang rutin mendapat nafkah dari suaminya.
Di ujung jalan terlihat mobil polisi yang sedang menanti. Menanti Risma, tepatnya. Dia menjadi saksi dari kasus penusukkan yang dialami Risna. Sebenarnya sasarannya adalah Risma, tapi mereka salah mengenali orang. Motifnya untuk sementara karena balas dendam antar geng. Semua dia yang memulai, tapi kakaknya yang mengakhiri. Apapun itu, tak ada lagi gadis berpayung oranye.

Jumat, 30 Maret 2012

Happy 38th Birthday Gramedia!


Happy 38th Birthday Gramedia!
Selamat ulang tahun yang ke 38 Gramedia!
Semoga di Ultah yang ke tiga puluh delapan, membuat Gramedia semakin terdepan.
Dan terima kasih telah menerbitkan berbagai bacaan menarik. Termasuk kesempatan bertemu dengan salah satu penulis favoritku.
Long Live Gramedia!

Foot note: Behind the scene.

Seperti foto di atas, dasarnya adalah tumpukan buku terbitan Gramedia. Sengaja di atur berbentuk tangga, untuk mencerminkan Step by step Gramedia merintis karirnya di bidang penerbitan maupun toko buku. Dan puncaknya adalah Kue yang sengaja saya buat untuk memperingati Ultah Gramedia yang ke 38. Kue nya berbahan dasar kertas bekas yang saya manfaatkan bagian belakangnya. Sedangkan kotaknya adalah bekas kotak cokelat. Jadi 95% eco Friendly.
Semoga Gramedia menyukai kadonya ^ ^

Rabu, 28 Maret 2012

Pion Hitam


#Cerita hari ini bermula dari ketidaksengajaan bertemu seorang sahabat lama. Kurang lebih 15 tahun aku tak pernah bertemu dengannya. Kami pernah menjadi sahabat karib sewaktu di #bangku sekolah dulu. Namanya Alu. Lengkapnya Alundra Sasongko. Seorang murid yang paling bandel di seantero sekolah. Bagaimana tidak, dia pernah nyaris membakar laboratorium kimia kami. Itu baru satu dari sekian kenakalannya. Kala itu, tak ada yang berani berteman dengannya, seluruh sekolah memandangi dia seperti tengah memandangi monster. Tepatnya memandangi kami berdua. Entah kenapa, dari dulu aku selalu merasa Alu melebihi penampilan luarnya. Bukankah penampilan luar seseorang tergantung dari apa yang ingin dia tunjukkan kepadamu?
Dan Alu menunjukkan sisi lain dari dirinya saat memenangkan lomba catur Nasional. Siapa yang menyangka Alu mempunyai strategi dan kepiawaan dalam bermain catur? Teman-teman mulai menjulukinya Pion Hitam. Karena Alu selalu memainkan pion hitam di dalam setiap lomba. Alu tetap Alu. Tak ada yang berubah meski dia berhasil mengharumkan nama sekolah. Dia masih senang membuat onar di kelas, menggangu guru, bahkan diam-diam merokok di perkarangan sekolah. Herannya dia tidak pernah menawariku atau mencoba mempengaruhiku untuk merokok atau membolos.
Seperti pertemuanku dengannya hari ini, dia masih merokok dan aku yang menghirup kepulan asapnya. Wajahnya terlihat serius memandangi pion hitam putih yang berada di depan kami.
Giliran loe, Jud” panggilnya dengan bibir yang menggantung sepuntung rokok.
Kali ini giliran aku berpikir keras menghadapi pion hitam Alu. Setiap celah telah di kunci pion hitam itu.
Gua masih nggak nyangka bisa ketemu loe di persidangan...” kata Alu sambil mematikan puntung rokoknya. “Apalagi loe sekarang adalah Jaksa penuntut gua” lanjutnya sambil tertawa getir.
Lima belas tahun yang lalu, kami adalah kawan dan sekarang kami adalah lawan di mata hukum.
Setelah membobol celah, pion putih berhasil memakan pion hitam.
Giliran kamu”
Pion hitam Alu masih berdiri di tempatnya, hanya dia kehilangan satu lagi jumlah tentaranya.
Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu sampai nekad menjual narkoba?” tanyaku.
Alu masih menunduk memandangi papan catur, antara sedang berpikir strategi dan berpikir jawaban. Sesaat senyum mengembang di wajahnya.
Skak Mat” katanya sambil memindahkan sebuah pion hitam ke dalam markas pion putih.
Satu titik dan pion putih tak berkutik.
Akan sangat tidak adil kalau gua bilang, gua nggak punya pilihan lain. Pilihan itu banyak. Tapi emang ini yang gua pilih. Jualan sabu. Duitnya banyak dan cepat. Bisa untuk melunasi utang mendiang bapak dan membiayai sekolah Dinda” jawabnya enteng.
Adinda, adik perempuan Alu. Dua kali aku bertemu dengannya di persidangan. Selain menua, tak ada yang berubah darinya. Masih terlihat cantik seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Adinda berbanding terbalik dari saudaranya, dia cerdas dan lemah lembut. Satu hal yang mirip dari mereka adalah keberanian mereka.
Sejak bapak meninggal, ekonomi keluarga gua morat-marit. Gua memutuskan berhenti sekolah. Lagi pula loe kan tahu sendiri gua gimana di sekolah. Percuma juga kalau di lanjutin. Tapi Dinda nggak boleh sampai ninggalin #bangku sekolah. Alhasil gua memutuskan buat pindah dan nyari kerja. Dan kerjaan apa yang bisa gua dapet kalau ijazah SMA aja gua nggak punya?”
Lidahku kelu mendengar jawaban Alu. Sipir penjara datang mengingatkan jam besuk tinggal hitungan menit.
Permainan kali ini gua yang menang. Kalau boleh tolong loe berikan sedikit diskon masa tahanan” candanya sambil di gandeng oleh seorang sipir.
Sampai bertemu di pengadilan, Lu” kataku padanya. Yang dijawab dengan seutas senyuman. Aku tahu percakapan hari ini belum tuntas.

Senin, 19 Maret 2012

Seminggu bersama tamu mancanegara

Acara pernikahan adalah salah satu ajang kumpul-kumpul keluarga besar. Waktunya kita ketemu saudara dari segala penjuru dunia dan kadang kita ketemu saudara yang sama sekali belum pernah kita temui.
Berhubung Big Brother saya akan menikah, jadilah rumah kami di penuhi kedatangan tamu mancanegara! Ada tante dan paman dari Jakarta, adik dan kakak perempuan kakek dari Hong Kong dan  Palembang. Itu hanya yang menginap di rumah, belum yang dari tempat lain-lainnya. Kita tentunya bersyukur banget, secara jarang-jarang gitu bisa kumpul keluarga. Terutama dengan kakaknya kakek. Papa dan Mama aja udah 28 tahun nggak pernah ketemu, apalagi saya. Jadi baru kali itu kita ketemu. Usianya kalo ga salah sekitar 85 tahun, secara fisik masih sehat hanya sedikit pikun. Hari pertama datang selalu bertanya di mana letak kamarnya dan berulang kali lupa, tapi salutnya masih bisa naik turun tangga, menari dan nyuci sendiri loh! Kalau adiknya yang dari Hong Kong, masih sangat sehat dan kuat. Hebatnya dia sendirian naik pesawat pulang pergi.
Dan acara pernikahan pun di gelar. Semua keluarga berkumpul dan tamu-tamu menikmati hidangan dan acara. Yang tadinya repot selama berbulan-bulan terbayar dalam satu hari. Usai acara, mereka pun jalan-jalan keliling Medan. Rata-rata komentar mereka tentang Medan kurang begitu baik. Ada yang bilang Medan kotor, hujan setengah jam langsung banjir, dan penguna jalan raya kurang tertib.
Dan terutama keluhan tentang pelayanan di Bandara yang semerawut. Sebagai orang Medan saya cuma bisa diam, yang mereka katakan itu benar adanya. Meski mengeluh tapi mereka tidak kapok datang ke Medan karena kulinernya enak-enak. Terutama Durian!
Waktu Papa bawa pulang durian, semua sudah bersiap-siap makan terutama kakaknya kakek yang sibuk mencari gigi palsunya. Gigi palsunya dia rendam dalam gelas dan hanya di pakai ketika makan. Hari terakhir keberadaanya di rumah, Big Brother saya menemukan gelasnya yang sudah hilang beberapa hari dengan santai dia ambil dan beberapa detik sebelum di minum, pembantu saya bilang: “Bang, itu gelas bekas rendaman gigi palsu.”
Sontak, dia meletakkan gelasnya “Kok kamu kasih gelas saya untuk rendam gigi palsu? Kan masih banyak gelas lain.”
“Nenek yang pilih sendiri, bang. Dia bilang dia suka warna kuning” jawab pembantu saya lugu. Dan memang gelas Big Brother saya warnanya kuning. Otomatis semua yang ada di sana tertawa. Berulang kali Big Brother saya bersyukur tidak jadi minum air bekas rendaman gigi palsu.
“Untung dia nggak suka warna biru” celetuk Second Brother. Husss... nggak baik ngetawain orang tua, karena nggak ada jaminan kalau kita tua tidak akan begitu. :D

Kamis, 08 Maret 2012

Entri Pertama

Jadi hari ini tepatnya, tanggal 8 Maret 2012 saya membuat blog. Emang udah agak kelamaan sih buat blog, but better late than never. Ya ga? :)
Kesan pertama bikin blog ini ternyata lumayan mengasyikkan. Milih-milih tempelate untuk blog, warna tulisan, Font, bahkan gambar background. Semuanya cakep-cakep. Tapi akhirnya pilihan jatuh ke gambar bintang yang jadi background saya.
Niatan bikin blog ini simply just to learn more. Belajar untuk nulis lebih baik, kepikiran ga kalau kita disuruh nulis sebanyak 2 lembar aja bingung. Sama seperti nulis Entri Pertama ini. Bengongnya setengah jam nulisnya lima belas menit. Terus bengong lagi. Hahaha.
Yah, namanya juga pemula. Let's learn!