#Cerita hari ini tidak akan ada, jika
setengah tahun yang lalu Raka tidak mengambil cuti untuk bulan madunya. Raka
adalah salah satu rekanku di sebuah koran internasional. Jadi, hari selasa enam
bulan yang lalu, aku berangkat menggantikan Raka ke sebuah perkampungan di
daerah pesisir. Total 13 jam aku berada di perjalanan. Dua kali ganti kereta
api dan sekali menumpang mobil angkutan barang untuk sampai di perkampungan
itu. Tentunya rasa lelah luar biasa menghantamku, namun ini bagian dari resiko
pekerjaan yang kupilih. Sebagai wartawan, aku harus mencari informasi hingga ke
lubang tikus sekalipun. Angin dingin dan gerimis menyambut kedatanganku di
perkampungan itu. Setelah bertanya kepada warga sekitar, aku dituntun menuju
rumah kepala desa.
“Apa yang membuat kau datang kemari?”
tanyanya ketika melihat kartu identitasku.
Kuceritakan apa yang membuatku rela naik
kereta api selama sepuluh jam, ditambah tiga jam berada di samping supir
angkutan barang.
“Jadi orang kota mulai tertarik dengan ikan
kaca kami?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku mengangguk “Kalau diizinkan, saya akan
menginap 2 malam di rumah bapak dan ikut nelayan pergi menangkap ikan kaca.”
kataku langsung. Rasa kantuk dan lelah selama perjalanan mulai mengerogotiku.
Kepala desa terlihat menimbang sejenak “Kamu bisa tidur dengan Budi, anak
laki-laki saya. Soal izin ikut berlayar, kau tanyakan sendiri pada para nelayan
itu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak
Ahmat, kepala desa. Hal pertama yang kulakukan adalah membasuh diri, mengingat
kurang lebih 13 jam aku belum membersihkan diri. Untuk sementara, badanku
kembali segar. Aku meminta Budi untuk menemaniku menemui para nelayan. Seperti
kata kepala desa, agak sulit membujuk mereka. Namun setelah kujanjikan akan
ikut membayar sewa kapal, mereka setuju.
***
Bergulung-gulung ombak menghantam kapal
kami. Dengan pencahayaan seadanya, kapal kami menjadi terang di antara gelapnya
pagi. Perutku mulai terasa mual dan angin dingin membuat wajahku kebas. Entah
berapa kali air masuk ke dalam kapal kami. Bukan perkara mudah menangkap ikan
batinku. Setelah beberapa saat, kapal pun berhenti. Dengan terlatih, para
nelayan mulai menebarkan jala dan setelah penuh, jala akan diangkat dengan cara
ditarik. Aku ikut membantu mereka menarik jala. Kulihat dari jaring-jaring jala
itu, sesuatu yang berkilauan. Ikan kaca. Aku mendekatkan diri berusaha melihat
lebih dekat. Kulit ikan itu seperti dibalut aluminium. Siripnya bening, dan
panjangnya sekitar 90 cm. Segera ku keluarkan kamera untuk mengabadikan ikan
kaca itu. Entah apa rasanya pikirku. Kesempatan mencicipi ikan kaca justru
datang malamnya. Budi mengajakku ke warung milik pacarnya.
“Kenalin, ini Fitri pacarku” kata Budi.
Gadis itu tersenyum dan mengulang namanya.
“Satria” kataku memperkenalkan diri.
Fitri membawa tiga piring nasi, satu
lalapan dan tiga ekor ikan kaca yang telah dimasak.
“Ayo dicoba” tawar Fitri yang segeraku
iyakan.
Memang hanya ikan kaca itu yang membuatku
penasaran. Sebelum mencoba, aku mengeluarkan kamera dan mengambil gambar
masakan Fitri. Rasanya seperti ikan biasa, tapi dagingnya lembut dan segar.
“Enak kan? Di kampung ini, warung Fitri
terkenal dengan masakan ikan kaca bakarnya” kata Budi sembari berpromosi.
Aku mengangguk. “Enak banget! Tapi rasanya
sedikit manis ya?”
Fitri dengan semangat menceritakan proses
pembuatan ikan bakarnya. Suaranya berbaur dengan hujan deras di luar. Hingga
kami selesai makan, hujan masih saja deras. Membuat aku tak bisa pulang dan
beristirahat. Sedangkan Budi, terlihat asyik mengobrol dengan pacarnya.
“Jadi ibu kota itu seperti apa?” tanya
Fitri tiba-tiba.
Bingung harus menjawab apa, aku mengambil
kameraku dan memberikannya pada Fitri “Di dalam ada foto ibu kota”
Ia dan Budi melihat dengan antusias. Di
dalam kamera itu ada foto gedung kantorku, foto-foto demonstran yang menolak
kebijakan pemerintah, foto jembatan rusak, foto banjir dan segala sesuatu yang
kuliput.
“#Matahari yang cantik” gumam Fitri.
Rupanya mereka terhenti di foto yang iseng
kuambil dari atap kantorku. Matahari senja dikelilingi gedung bertingkat.
“Suatu saat aku akan melihatnya langsung”
kata Fitri sambil mengembalikan kameraku.
“Kita” tambah Budi mantap.
Aku menatap mereka berdua “Melihat ibu
kota?”
Fitri menggeleng. “Melihat #Matahari”
Kali ini aku tertegun. “Memang di sini
tidak ada #Matahari?”
“Memangnya kamu pernah melihat #Matahari di
sini?” tanya Budi balik.
Memang selama dua hari ini, langit terlihat
mendung. Tapi aku mengira itu karena musim hujan.
“Selama dua puluh tahun aku tinggal disini,
tidak pernah sekalipun #Matahari terbit. Kata ibuku, mungkin jika langit kami
terang, pasti laut kami akan bercahaya karena terpantul oleh kulit ikan kaca”
Aku membayangkan ucapan Fitri. Sepanjang
malam kami sibuk membahas 'keajaiban' di kampung mereka. Dalam hati aku
mencatat setiap informasi baru yang mungkin berguna untuk artikelku.
***
Kereta api itu berjalan lambat. Kereta api
yang sama ketika membawaku enam bulan yang lalu, tapi kali ini dengan penumpang
berbeda. Dari jauh, aku melihat Budi dan Fitri tergopoh-gopoh dengan bawaan
mereka. Segera aku menghampiri mereka.
“Satria!” teriak Budi.
Hari ini, enam bulan sejak pertemuanku
dengan Fitri dan Bayu, kami berjumpa kembali. Dari surat yang dikirim Fitri
sebelum mereka datang, ia menceritakan bahwa sejak kedatanganku enam bulan yang
lalu, hidup mereka berubah. Banyak orang asing yang penasaran dengan ikan kaca,
dan ingin mencicipinya langsung. Karena itu, warung ikan kaca bakar milik Fitri
mulai ramai dipenuhi wisatawan. Bahkan menteri perikanan sempat datang
berkunjung kesana. Jalanan ikut di aspal, karena waktu itu menteri akan datang.
Menteri juga berjanji akan membantu mereka dalam mendapatkan listrik yang
memadai. Pendapatan penduduk pun sedikit membaik, karena mereka juga
menyediakan penginapan di rumah mereka. #Matahari tetap tidak terbit di
perkampungan itu, tapi secercah harapan baru terbit di hati setiap penduduk
perkampungan.
“Ayo! #Matahari sudah
menunggu kalian.” kataku. Oh ya, istriku juga bernama #Matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar