#Cerita
hari ini bermula dari ketidaksengajaan bertemu seorang sahabat lama.
Kurang lebih 15 tahun aku tak pernah bertemu dengannya. Kami pernah
menjadi sahabat karib sewaktu di #bangku sekolah dulu. Namanya Alu.
Lengkapnya Alundra Sasongko. Seorang murid yang paling bandel di
seantero sekolah. Bagaimana tidak, dia pernah nyaris membakar
laboratorium kimia kami. Itu baru satu dari sekian kenakalannya. Kala
itu, tak ada yang berani berteman dengannya, seluruh sekolah
memandangi dia seperti tengah memandangi monster. Tepatnya memandangi
kami berdua. Entah kenapa, dari dulu aku selalu merasa Alu melebihi
penampilan luarnya. Bukankah penampilan luar seseorang tergantung
dari apa yang ingin dia tunjukkan kepadamu?
Dan Alu
menunjukkan sisi lain dari dirinya saat memenangkan lomba catur
Nasional. Siapa yang menyangka Alu mempunyai strategi dan kepiawaan
dalam bermain catur? Teman-teman mulai menjulukinya Pion Hitam.
Karena Alu selalu memainkan pion hitam di dalam setiap lomba. Alu
tetap Alu. Tak ada yang berubah meski dia berhasil mengharumkan nama
sekolah. Dia masih senang membuat onar di kelas, menggangu guru,
bahkan diam-diam merokok di perkarangan sekolah. Herannya dia tidak
pernah menawariku atau mencoba mempengaruhiku untuk merokok atau
membolos.
Seperti
pertemuanku dengannya hari ini, dia masih merokok dan aku yang
menghirup kepulan asapnya. Wajahnya terlihat serius memandangi pion
hitam putih yang berada di depan kami.
“Giliran
loe, Jud” panggilnya dengan bibir yang menggantung sepuntung rokok.
Kali ini
giliran aku berpikir keras menghadapi pion hitam Alu. Setiap celah
telah di kunci pion hitam itu.
“Gua
masih nggak nyangka bisa ketemu loe di persidangan...” kata Alu
sambil mematikan puntung rokoknya. “Apalagi loe sekarang adalah
Jaksa penuntut gua” lanjutnya sambil tertawa getir.
Lima
belas tahun yang lalu, kami adalah kawan dan sekarang kami adalah
lawan di mata hukum.
Setelah
membobol celah, pion putih berhasil memakan pion hitam.
“Giliran
kamu”
Pion
hitam Alu masih berdiri di tempatnya, hanya dia kehilangan satu lagi
jumlah tentaranya.
“Kalau
boleh tahu, apa yang membuatmu sampai nekad menjual narkoba?”
tanyaku.
Alu
masih menunduk memandangi papan catur, antara sedang berpikir
strategi dan berpikir jawaban. Sesaat senyum mengembang di wajahnya.
“Skak
Mat” katanya sambil memindahkan sebuah pion hitam ke dalam markas
pion putih.
Satu
titik dan pion putih tak berkutik.
“Akan
sangat tidak adil kalau gua bilang, gua nggak punya pilihan lain.
Pilihan itu banyak. Tapi emang ini yang gua pilih. Jualan sabu.
Duitnya banyak dan cepat. Bisa untuk melunasi utang mendiang bapak
dan membiayai sekolah Dinda” jawabnya enteng.
Adinda,
adik perempuan Alu. Dua kali aku bertemu dengannya di persidangan.
Selain menua, tak ada yang berubah darinya. Masih terlihat cantik
seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Adinda berbanding
terbalik dari saudaranya, dia cerdas dan lemah lembut. Satu hal yang
mirip dari mereka adalah keberanian mereka.
“Sejak
bapak meninggal, ekonomi keluarga gua morat-marit. Gua memutuskan
berhenti sekolah. Lagi pula loe kan tahu sendiri gua gimana di
sekolah. Percuma juga kalau di lanjutin. Tapi Dinda nggak boleh
sampai ninggalin #bangku sekolah. Alhasil gua memutuskan buat pindah
dan nyari kerja. Dan kerjaan apa yang bisa gua dapet kalau ijazah
SMA aja gua nggak punya?”
Lidahku
kelu mendengar jawaban Alu. Sipir penjara datang mengingatkan jam
besuk tinggal hitungan menit.
“Permainan
kali ini gua yang menang. Kalau boleh tolong loe berikan sedikit
diskon masa tahanan” candanya sambil di gandeng oleh seorang sipir.
“Sampai
bertemu di pengadilan, Lu” kataku padanya. Yang dijawab dengan
seutas senyuman. Aku tahu percakapan hari ini belum tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar