Rabu, 28 Maret 2012

Pion Hitam


#Cerita hari ini bermula dari ketidaksengajaan bertemu seorang sahabat lama. Kurang lebih 15 tahun aku tak pernah bertemu dengannya. Kami pernah menjadi sahabat karib sewaktu di #bangku sekolah dulu. Namanya Alu. Lengkapnya Alundra Sasongko. Seorang murid yang paling bandel di seantero sekolah. Bagaimana tidak, dia pernah nyaris membakar laboratorium kimia kami. Itu baru satu dari sekian kenakalannya. Kala itu, tak ada yang berani berteman dengannya, seluruh sekolah memandangi dia seperti tengah memandangi monster. Tepatnya memandangi kami berdua. Entah kenapa, dari dulu aku selalu merasa Alu melebihi penampilan luarnya. Bukankah penampilan luar seseorang tergantung dari apa yang ingin dia tunjukkan kepadamu?
Dan Alu menunjukkan sisi lain dari dirinya saat memenangkan lomba catur Nasional. Siapa yang menyangka Alu mempunyai strategi dan kepiawaan dalam bermain catur? Teman-teman mulai menjulukinya Pion Hitam. Karena Alu selalu memainkan pion hitam di dalam setiap lomba. Alu tetap Alu. Tak ada yang berubah meski dia berhasil mengharumkan nama sekolah. Dia masih senang membuat onar di kelas, menggangu guru, bahkan diam-diam merokok di perkarangan sekolah. Herannya dia tidak pernah menawariku atau mencoba mempengaruhiku untuk merokok atau membolos.
Seperti pertemuanku dengannya hari ini, dia masih merokok dan aku yang menghirup kepulan asapnya. Wajahnya terlihat serius memandangi pion hitam putih yang berada di depan kami.
Giliran loe, Jud” panggilnya dengan bibir yang menggantung sepuntung rokok.
Kali ini giliran aku berpikir keras menghadapi pion hitam Alu. Setiap celah telah di kunci pion hitam itu.
Gua masih nggak nyangka bisa ketemu loe di persidangan...” kata Alu sambil mematikan puntung rokoknya. “Apalagi loe sekarang adalah Jaksa penuntut gua” lanjutnya sambil tertawa getir.
Lima belas tahun yang lalu, kami adalah kawan dan sekarang kami adalah lawan di mata hukum.
Setelah membobol celah, pion putih berhasil memakan pion hitam.
Giliran kamu”
Pion hitam Alu masih berdiri di tempatnya, hanya dia kehilangan satu lagi jumlah tentaranya.
Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu sampai nekad menjual narkoba?” tanyaku.
Alu masih menunduk memandangi papan catur, antara sedang berpikir strategi dan berpikir jawaban. Sesaat senyum mengembang di wajahnya.
Skak Mat” katanya sambil memindahkan sebuah pion hitam ke dalam markas pion putih.
Satu titik dan pion putih tak berkutik.
Akan sangat tidak adil kalau gua bilang, gua nggak punya pilihan lain. Pilihan itu banyak. Tapi emang ini yang gua pilih. Jualan sabu. Duitnya banyak dan cepat. Bisa untuk melunasi utang mendiang bapak dan membiayai sekolah Dinda” jawabnya enteng.
Adinda, adik perempuan Alu. Dua kali aku bertemu dengannya di persidangan. Selain menua, tak ada yang berubah darinya. Masih terlihat cantik seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Adinda berbanding terbalik dari saudaranya, dia cerdas dan lemah lembut. Satu hal yang mirip dari mereka adalah keberanian mereka.
Sejak bapak meninggal, ekonomi keluarga gua morat-marit. Gua memutuskan berhenti sekolah. Lagi pula loe kan tahu sendiri gua gimana di sekolah. Percuma juga kalau di lanjutin. Tapi Dinda nggak boleh sampai ninggalin #bangku sekolah. Alhasil gua memutuskan buat pindah dan nyari kerja. Dan kerjaan apa yang bisa gua dapet kalau ijazah SMA aja gua nggak punya?”
Lidahku kelu mendengar jawaban Alu. Sipir penjara datang mengingatkan jam besuk tinggal hitungan menit.
Permainan kali ini gua yang menang. Kalau boleh tolong loe berikan sedikit diskon masa tahanan” candanya sambil di gandeng oleh seorang sipir.
Sampai bertemu di pengadilan, Lu” kataku padanya. Yang dijawab dengan seutas senyuman. Aku tahu percakapan hari ini belum tuntas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar