Rabu, 11 April 2012

Gadis Berpayung Oranye


#Cerita hari ini tentang seorang gadis berpayung oranye. Dari mama aku tahu kalau rumah di ujung jalan itu telah ditempati keluarga baru. Keluarga gadis itu. Kesempatan berkenalan kudapat dari tempat les piano, Madam Irama. Pemiliknya seorang wanita tengah baya bernama Irama, dia terkenal akan kedisiplinannya dalam berlatih dan mengajar. Gadis itu seorang pianis yang berbakat. Lewat jadwal latihan yang ketat, dia selalu berhasil mendapat peringkat pertama. Karena tempat les Madam Irama berada di dalam komplek perumahan kami, setiap pulang les kami selalu berjalan pulang. Dia di depan dengan payung oranyenya dan aku di belakang memandanginya. Selalu begitu, meski tidak ada hujan dia tetap dengan payung oranyenya. Dua hari dalam seminggu kami bertemu dan hanya melontarkan senyum kecil. Begitu seterusnya hingga suatu hari di musim hujan.
Dia dengan payung oranyenya telah bersiap pulang sementara aku duduk melamun diiringi tumpahan hujan.
“Mau bareng?” tanya gadis itu lembut.
Aku menengadah memandang wajahnya yang sedang tersenyum lalu beralih ke arah langit. Sudah setengah jam dan belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Pandanganku terhenti pada payung oranye itu.
“Payungku cukup lebar untuk kita berdua” katanya lagi seolah dapat membaca pikiranku.
Buru-buru aku tersenyum “Aku mau. Makasih, sebelumnya....”
Gadis itu balas tersenyum “Risna, namaku Risna.”
“Namaku, Jingga” jawabku. Sebenarnya aku sudah tahu nama gadis itu. Cuma rasanya kurang pas jika aku langsung menyebut namanya karena kami belum pernah berkenalan resmi.
Sejak saat itu kami jadi akrab. Risna, gadis yang menyenangkan dan tidak pelit ilmu. Kadang, aku diajak bertandang ke rumahnya yang bekas rumah Bu Cokro. Rumah itu tidak terlalu banyak mengalami perubahan, hanya beberapa perabot yang letaknya diubah dan warna dinding yang dicat baru. Ibunya Risna, tante Eni adalah orang yang pendiam. Tapi pandai memasak. Dia tidak bisa membiarkan tamu pulang dengan perut kosong. Risna, punya saudara kembar. Namanya Risma.
“Kalian seperti pinang dibelah dua” komentarku usai berkenalan dengan Risma.
Risna tersenyum seperti biasa. “Ibuku kadang tidak bisa membedakan kami”
Aku tidak terkejut. Memang mereka terlampau mirip. Mulai dari wajah, potongan rambut, bahkan belahan rambut semua persis. Secara fisik mereka persis. Tapi dari segi sifat jelas berlawanan. Seperti kedua ujung #Magnet yang saling bertolak belakang. Itu kusadari setelah beberapa kali main ke rumah Risna. Jika Risna kelihatan lemah, justru Risma sebaliknya. Dari mata dan gerak-geriknya, Risma terlihat sangat.... liar. Pulang ke rumah selalu bersama segerombolan teman lelaki dan itu pun hanya untuk mengisi perut dengan masakan tante Eni. Risna kelihatan takut dengan adik kembarnya itu.
“Apa rasanya punya saudara kembar?” tanyaku suatu ketika.
Risna berhenti memainkan piano. Wajahnya balik memandangku. “Sama seperti mempunyai saudara lelaki”
Pikiranku melayang pada, Biru. Abang lelakiku.
“Aku punya seorang abang, tapi kami berbeda 10 tahun. Dan dia sudah lama merantau” kataku.
“Risma itu orangnya nekad dan temannya semua laki-laki. Sepertinya dia mempunyai sebuah geng dan dia punya kuasa yang cukup tinggi di sana”
“Dari mana kamu tahu?”
Risna mengangkat bahu “Entah. Perasaanku bilang seperti itu”
Kata orang, saudara kembar memiliki kontak batin. Mungkin sama seperti hubungan Risna dan Risma.
“Aku beri tahu satu rahasia” kata Risna tiba-tiba.
“Tentang?” tanyaku heran.
Risna menjulurkan tangan kanannya, perlahan ia membuka telapak tangannya “Lihat, tahi lalat ini punyaku. Punya Risma ada di sebelah kiri telapak tangannya. Itu cara membedakan kami”
Kami bertatapan lama. “Aku juga punya rahasia” kataku pada akhirnya. Aku menceritakan tabungan yang rutin dikirim kak Biru, tabungan itu sengaja dikirim oleh kak Biru untuk biaya pendidikanku kelak. Dan aku menceritakan itu pada Risna, karena dia mempercayaiku.

*****
Sehari sebelum ujian piano Grade 8 dimulai, Risna tiba-tiba mendatangiku. Tepat dua bulan setelah aku menceritakan soal tabungan yang dikirim kak Biru.
“Jingga, kamu percaya padaku kan?” tanya Risna.
Aku mengangguk mantap.
“Pinjami aku uang”
Jeda sesaat sebelum Risna melanjutkan “Mama sakit dan itu semua gara-gara Risma. Dia ketahuan menunggak uang sekolah selama tiga bulan. Dan sering mencuri uang mama”. Sebulir air mata mengalir di pipinya.
“Kamu butuh berapa?” tanyaku.
Tangan kanan Risna membentuk angka lima “Lima juta. Untuk membayar uang sekolah dan membawa mama berobat”
Tidak ada tahi lalat di sana. Mendadak wajahku kaku. “Kamu bukan Risna” kataku dingin.
“Apa maksudmu?” tanya Risma.
Kuambil telapak tangan kirinya dan menunjukkan tahi lalat itu. Sontak Risma menarik tangannya kembali. “Brengsek, jadi Risna memberitahu rahasia kami” Risma mendengus marah. Tanpa banyak bicara, dia langsung berjalan keluar rumah. Tentu saja tanpa payung oranye.

*****  
Ruang meeting hotel berbintang sekarang beralih fungsi menjadi tempat ujian piano Grade 8. Aku mendapat giliran ketiga untuk tampil. Madam Irama telah sibuk mendata murid dan mendampingi mereka. Kegugupan membanjiri kami dan aku yakin itu juga yang dirasakan Madam Irama. Aku sukses memainkan 3 lagu yang menjadi materi ujian sekaligus bernyanyi solfegio. Madam Irama menyambutku dengan penuh senyuman usai tampil.
“Bagus, Jingga” pujinya. Aku tersenyum. Dari sudut mataku, aku menangkap sosok Risna sedang duduk menanti antrian. Kalau tidak salah dia mendapat giliran ketujuh untuk tampil. Perlahan aku menghampirinya, di luar hujan mulai turun. Risna terlihat pucat dan terkejut ketika aku berada di sisinya.
“Ris, kamu baik-baik aja”
“Risma dalam bahaya, Jingga. Aku harus pergi menolongnya” katanya sambil bangkit dari kursinya. Madam Irama tampaknya tidak memperhatikan kami.
“Tenang dulu, Ris. Memangnya kamu tahu Risma dimana?” cegatku.
“Aku nggak tahu. Tapi aku harus pergi. Perasaanku benar-benar nggak enak” katanya sambil berlari meninggalkanku.
Dua kali aku berteriak memanggilnya, namun ia terus berlari. Payung oranye tertinggal di kursi Risna. Segera aku menyambarnya dan berlari menyusul. Di luar hujan turun sangat lebat, aku membuka payung oranye itu dan mencari Risna. Terlihat beberapa satpam berkumpul mengerubungi sesuatu. Penasaran aku mendekat, dan betapa paniknya aku saat mendapati tubuh Risna bersimbah darah dan tergeletak di aspal.

*****
Tahi lalat itu kini sepasang. Aneh memang. Tapi itulah yang kulihat ketika Risma menaburkan bunga di makam Risna. Baru kali itu aku melihat Risma menangis tersedu-sedu. Sedangkan tante Eni lebih terlihat seperti orang linglung. Raganya berada di pemakaman tetapi jiwanya mati bersama Risna. Dan baru kali itu, aku melihat sosok ayah kandung Risna-Risma. Menurut tetannga, tante Eni adalah istri simpanan yang rutin mendapat nafkah dari suaminya.
Di ujung jalan terlihat mobil polisi yang sedang menanti. Menanti Risma, tepatnya. Dia menjadi saksi dari kasus penusukkan yang dialami Risna. Sebenarnya sasarannya adalah Risma, tapi mereka salah mengenali orang. Motifnya untuk sementara karena balas dendam antar geng. Semua dia yang memulai, tapi kakaknya yang mengakhiri. Apapun itu, tak ada lagi gadis berpayung oranye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar