#Cerita
hari ini tentang seorang gadis berpayung oranye. Dari mama aku tahu kalau rumah
di ujung jalan itu telah ditempati keluarga baru. Keluarga gadis itu.
Kesempatan berkenalan kudapat dari tempat les piano, Madam Irama. Pemiliknya
seorang wanita tengah baya bernama Irama, dia terkenal akan kedisiplinannya
dalam berlatih dan mengajar. Gadis itu
seorang pianis yang berbakat. Lewat jadwal latihan yang ketat, dia selalu
berhasil mendapat peringkat pertama. Karena tempat les Madam Irama berada di
dalam komplek perumahan kami, setiap pulang les kami selalu berjalan pulang.
Dia di depan dengan payung oranyenya dan aku di belakang memandanginya. Selalu
begitu, meski tidak ada hujan dia tetap dengan payung oranyenya. Dua hari dalam
seminggu kami bertemu dan hanya melontarkan senyum kecil. Begitu seterusnya
hingga suatu hari di musim hujan.
Dia
dengan payung oranyenya telah bersiap pulang sementara aku duduk melamun
diiringi tumpahan hujan.
“Mau
bareng?” tanya gadis itu lembut.
Aku
menengadah memandang wajahnya yang sedang tersenyum lalu beralih ke arah
langit. Sudah setengah jam dan belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
Pandanganku terhenti pada payung oranye itu.
“Payungku
cukup lebar untuk kita berdua” katanya lagi seolah dapat membaca pikiranku.
Buru-buru
aku tersenyum “Aku mau. Makasih, sebelumnya....”
Gadis
itu balas tersenyum “Risna, namaku Risna.”
“Namaku,
Jingga” jawabku. Sebenarnya aku sudah tahu nama gadis itu. Cuma rasanya kurang
pas jika aku langsung menyebut namanya karena kami belum pernah berkenalan
resmi.
Sejak
saat itu kami jadi akrab. Risna, gadis yang menyenangkan dan tidak pelit ilmu.
Kadang, aku diajak bertandang ke rumahnya yang bekas rumah Bu Cokro. Rumah itu
tidak terlalu banyak mengalami perubahan, hanya beberapa perabot yang letaknya
diubah dan warna dinding yang dicat baru. Ibunya Risna, tante Eni adalah orang
yang pendiam. Tapi pandai memasak. Dia tidak bisa membiarkan tamu pulang dengan
perut kosong. Risna, punya saudara kembar. Namanya Risma.
“Kalian
seperti pinang dibelah dua” komentarku usai berkenalan dengan Risma.
Risna
tersenyum seperti biasa. “Ibuku kadang tidak bisa membedakan kami”
Aku
tidak terkejut. Memang mereka terlampau mirip. Mulai dari wajah, potongan
rambut, bahkan belahan rambut semua persis. Secara fisik mereka persis. Tapi
dari segi sifat jelas berlawanan. Seperti kedua ujung #Magnet yang saling
bertolak belakang. Itu kusadari setelah beberapa kali main ke rumah Risna. Jika
Risna kelihatan lemah, justru Risma sebaliknya. Dari mata dan gerak-geriknya,
Risma terlihat sangat.... liar. Pulang ke rumah selalu bersama segerombolan
teman lelaki dan itu pun hanya untuk mengisi perut dengan masakan tante Eni.
Risna kelihatan takut dengan adik kembarnya itu.
“Apa
rasanya punya saudara kembar?” tanyaku suatu ketika.
Risna
berhenti memainkan piano. Wajahnya balik memandangku. “Sama seperti mempunyai
saudara lelaki”
Pikiranku
melayang pada, Biru. Abang lelakiku.
“Aku
punya seorang abang, tapi kami berbeda 10 tahun. Dan dia sudah lama merantau”
kataku.
“Risma
itu orangnya nekad dan temannya semua laki-laki. Sepertinya dia mempunyai
sebuah geng dan dia punya kuasa yang cukup tinggi di sana”
“Dari
mana kamu tahu?”
Risna
mengangkat bahu “Entah. Perasaanku bilang seperti itu”
Kata
orang, saudara kembar memiliki kontak batin. Mungkin sama seperti hubungan
Risna dan Risma.
“Aku
beri tahu satu rahasia” kata Risna tiba-tiba.
“Tentang?”
tanyaku heran.
Risna
menjulurkan tangan kanannya, perlahan ia membuka telapak tangannya “Lihat, tahi
lalat ini punyaku. Punya Risma ada di sebelah kiri telapak tangannya. Itu cara
membedakan kami”
Kami
bertatapan lama. “Aku juga punya rahasia” kataku pada akhirnya. Aku
menceritakan tabungan yang rutin dikirim kak Biru, tabungan itu sengaja dikirim
oleh kak Biru untuk biaya pendidikanku kelak. Dan aku menceritakan itu pada
Risna, karena dia mempercayaiku.
*****
Sehari
sebelum ujian piano Grade 8 dimulai, Risna tiba-tiba mendatangiku. Tepat dua
bulan setelah aku menceritakan soal tabungan yang dikirim kak Biru.
“Jingga,
kamu percaya padaku kan?” tanya Risna.
Aku
mengangguk mantap.
“Pinjami
aku uang”
Jeda
sesaat sebelum Risna melanjutkan “Mama sakit dan itu semua gara-gara Risma. Dia
ketahuan menunggak uang sekolah selama tiga bulan. Dan sering mencuri uang
mama”. Sebulir air mata mengalir di pipinya.
“Kamu
butuh berapa?” tanyaku.
Tangan
kanan Risna membentuk angka lima “Lima juta. Untuk membayar uang sekolah dan
membawa mama berobat”
Tidak
ada tahi lalat di sana. Mendadak wajahku kaku. “Kamu bukan Risna” kataku
dingin.
“Apa
maksudmu?” tanya Risma.
Kuambil
telapak tangan kirinya dan menunjukkan tahi lalat itu. Sontak Risma menarik
tangannya kembali. “Brengsek, jadi Risna memberitahu rahasia kami” Risma
mendengus marah. Tanpa banyak bicara, dia langsung berjalan keluar rumah. Tentu
saja tanpa payung oranye.
*****
Ruang
meeting hotel berbintang sekarang beralih fungsi menjadi tempat ujian piano
Grade 8. Aku mendapat giliran ketiga untuk tampil. Madam Irama telah sibuk
mendata murid dan mendampingi mereka. Kegugupan membanjiri kami dan aku yakin
itu juga yang dirasakan Madam Irama. Aku sukses memainkan 3 lagu yang menjadi
materi ujian sekaligus bernyanyi solfegio. Madam Irama menyambutku dengan penuh
senyuman usai tampil.
“Bagus,
Jingga” pujinya. Aku tersenyum. Dari sudut mataku, aku menangkap sosok Risna
sedang duduk menanti antrian. Kalau tidak salah dia mendapat giliran ketujuh
untuk tampil. Perlahan aku menghampirinya, di luar hujan mulai turun. Risna
terlihat pucat dan terkejut ketika aku berada di sisinya.
“Ris,
kamu baik-baik aja”
“Risma
dalam bahaya, Jingga. Aku harus pergi menolongnya” katanya sambil bangkit dari
kursinya. Madam Irama tampaknya tidak memperhatikan kami.
“Tenang
dulu, Ris. Memangnya kamu tahu Risma dimana?” cegatku.
“Aku
nggak tahu. Tapi aku harus pergi. Perasaanku benar-benar nggak enak” katanya
sambil berlari meninggalkanku.
Dua kali
aku berteriak memanggilnya, namun ia terus berlari. Payung oranye tertinggal di
kursi Risna. Segera aku menyambarnya dan berlari menyusul. Di luar hujan turun
sangat lebat, aku membuka payung oranye itu dan mencari Risna. Terlihat
beberapa satpam berkumpul mengerubungi sesuatu. Penasaran aku mendekat, dan betapa
paniknya aku saat mendapati tubuh Risna bersimbah darah dan tergeletak di
aspal.
*****
Tahi
lalat itu kini sepasang. Aneh memang. Tapi itulah yang kulihat ketika Risma
menaburkan bunga di makam Risna. Baru kali itu aku melihat Risma menangis
tersedu-sedu. Sedangkan tante Eni lebih terlihat seperti orang linglung.
Raganya berada di pemakaman tetapi jiwanya mati bersama Risna. Dan baru kali
itu, aku melihat sosok ayah kandung Risna-Risma. Menurut tetannga, tante Eni
adalah istri simpanan yang rutin mendapat nafkah dari suaminya.
Di ujung jalan
terlihat mobil polisi yang sedang menanti. Menanti Risma, tepatnya. Dia menjadi
saksi dari kasus penusukkan yang dialami Risna. Sebenarnya sasarannya adalah
Risma, tapi mereka salah mengenali orang. Motifnya untuk sementara karena balas
dendam antar geng. Semua dia yang memulai, tapi kakaknya yang mengakhiri.
Apapun itu, tak ada lagi gadis berpayung oranye.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar