Sabtu, 20 April 2013

Oriental and Moscow Circus with Safari Indonesia


My Routinity kills me. It's been so long that I'm not blogging around. Hehehe... Kali ini saya mau bercerita sedikit tentang pengalaman saya pertama kali nonton sirkus. Nontonnya sih bulan kemaren, cuma baru sempet nulis di blog sekarang. Jadi dalam rangka imlek kemaren, Safari Indonesia kerja sama dengan Oriental and Moscow Circus menggelar pertunjukan sirkus selama sebulan penuh. Iklan mulai di gelar dimana-mana seperti radio, banner, dll. 
Pertunjukannya sendiri dimulai setiap hari pukul 18:30 PM. Khusus sabtu, minggu dan hari libur pertunjukannya lebih banyak. Lokasinya berada di sebelah restoran Lembur Kuring Medan, dimana ada lapangan luas yang di sulap menjadi arena sirkus, tempat loket, stan-stan makanan, serta tempat parkir. Tidak heran dengan harga tiket VVIP Rp.150,000,- ; VIP Rp.100,000,- ; Utama Rp. 60,000,- dan Ekonomi Rp.40.000,- penonton begitu rame yang kebanyakan membawa serta anak kecil. Saya memutuskan membeli tiket Utama dengan harga Rp. 60,000,- karena saran teman. Setelah, membeli tiket, saya antri masuk ke dalam arena sirkus, arena sirkus itu sendiri seperti yang ada di film-film barat yang kita tonton hanya lebih kecil dengan tenda besar dan bangku penonton yang berbentuk setengah lingkaran membuat saya jadi teringat pada film Water for Elephants yang dibintangi Reese Whiterspoon dan Robert Pattinson. Penonton bebas memilih kursi sesuai dengan tiketnya dan ruangan sirkus juga cukup dingin dan nyaman. Setelah kurang lebih menunggu selama setengah jam, pertunjukan akhirnya dimulai. Dibuka oleh MC seluruh anggota sirkus yang keluar satu per satu dan memberi salam 'khas' mereka dan diakhiri dengan kata sambutan dari MC. Pertunjukkan pertama dibawa oleh seorang wanita Moscow yang mempertunjukkan kelihainnya bermain dengan kubikel raksasa, gerakannya begitu indah dan lincah sehingga menghipnotis seluruh pengunjung. Lalu di susul dengan pertunjukkan burung Beo yang bisa bicara, bermain bola, mandi dll. Ada juga sekelompok Oriental sirkus yang mempertunjukkan kelihaian akrobat mereka serta mendayung sepeda dengan penumpang sebanyak 10 orang!
Atraksi by Oriental Sirkus

Tak lupa ada juga badut yang lucu menghibur di sela-sela transisi setiap pertunjukkan (ketika mereka mempersiapkan arena). 4 Harimau Sumatera dan 1 ekor Harimau putih mempelihatkan kehebatan mereka melompati lingkaran api serta 4 ekor Gajah juga tak lupa mempertunjukkan kehebatan mereka. Seorang Pria Moscow juga mempertontonkan keahliannya dalam bermain dengan ring raksasa, beruputar bersama ring tersebut. Selama kurang lebih satu setengah jam pertunjukkan mata saya benar-benar disuguhkan tontonan yang memukau dan menarik! Untuk ukuran harga tiket tadi, pertunjukan sirkusnya benar-benar sepadan. Saya jadi berharap suatu saat saya bisa menonton sirkus dengan skala lebih besar di Moscow. Doakan yah...

Atraksi by Safari Indonesia

Sabtu, 06 Oktober 2012

Le Shan : Giant Buddha

Dua bulan yang lalu usai mengikuti tur Tibet, kami masih memiliki sisa 3 hari di Cheng Du. Berbekal informasi dari internet dan rekomendasi dari teman, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa hari kami dengan mengunjungi Le Shan: Giant Buddha dan Mount Emei.
Pagi-pagi kami check out dari hotel lalu naik taksi menuju terminal bus yang akan membawa kami ke Le Shan. Begitu turun dari taksi, terminal bus sudah ramai oleh penumpang dengan destinasi yang sama. Pemerintah Cina sepertinya sadar akan hal ini, menyediakan lebih dari ratusan armada bus yang jalan setiap setengah jam! Kami membeli tiket one way menuju Le Shan seharga RMB 50 (Sekitar 75 ribu, RMB 1 = 1500). Bus yang kami tumpangi terbilang bagus ada TV dan bersih. Dua jam kemudian kami tiba di kota Le Shan. Kota Le Shan sendiri sepertinya masih dalam tahap pembangunan, banyak gedung-gedung baru yang belum dihuni. Kami memutuskan untuk mengisi perut di salah satu restoran di Le Shan. Usai makan, kami bertanya pada pemilik restoran bagaimana cara menuju Giant Buddha. Si Pemilik restoran menyarankan kami untuk naik bus no 13 dari tempat kami turun tadi. Mengikuti saran pemiliik restoran, kami kembali ke tempat kami turun dan mendapati bus yang disebut tadi. Kali ini busnya tidak sebagus saat kami datang tetapi tarifnya cukup murah (RMB 1). Setelah cukup penuh, bus pun jalan. Di tengah jalan, bus berhenti dan mengangkut 1 orang penumpang wanita, yang ternyata bertugas seperti 'Guide'. Ia memberi informasi tentang tiket masuk Giant Buddha yang terbagi 2 jenis, lalu tempat penitipan tas beserta tarifnya, akhir dari penjelasannya itu, ia juga membagikan kami suvenir kecil berupa gantungan bertulis huruf Cina 'Fuo' yang berarti Dewa. Dan ia sama sekali tidak mengutip biaya! Atas informasi 'Guide tadi' kami memutuskan untuk menitip koper di salah satu tempat penitipan dengan tarif RMB 2. Benar saja, ternyata tiket masuk Giant Buddha terbagi 2 jenis, yaitu yang standar dan yang dapat melihat Giant Buddha. Kisaran harga tiket untuk yang standar RMB 90 dan untuk yang dapat melihat Giant Buddha RMB 120. Lantas bedanya apa? Untuk yang standar kita hanya dapat melihat komplek objek wisata Giant Buddha yang juga berisi pahatan-pahatan Buddha tapi versi lebih 'mini'. Sedangkan tiket yang satu lagi, kita dapat melihat semua objek wisata plus Giant Buddha yang terkenal itu. 

'Mini' Buddha

Berhubung sudah jauh-jauh, kami memutuskan untuk membeli tiket yang full saja. Di dalam komplek objek wisata Giant Buddha sendiri banyak sekali turis yang  berkelompok dengan Guide masing-masing. Dari pintu masuk kami sudah di 'sambut' beberapa Guide yang menawarkan jasa untuk mengajak kami berkeliling dengan membayar tarif tertentu. Kami pun menolak dengan halus, dan memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri. Komplek objek wisata Giant Buddha sendiri terbilang sangat besar dan penuh dengan papan petunjuk berbagai bahasa, seharian berjalan di dalam juga tidak akan habis! Banyak sekali pahatan patun-patung Buddha, ada yang di dalam goa ada yang di luar, ada tempat sembahyang, kolam ikan dan tempat beristirahat yang dilengkapi tempat berjualan. Untung saja kami sudah menitipkan koper di depan, karena kebayang repotnya menarik-narik koper sambil naik-turun tangga dan berjalan.

Giant Buddha 

Kami pun akhirnya sampai pada tempat Giant Buddha yang ternyata berada di  dekat kepala Sang Buddha. Untuk ke bawah, kami harus mengantri cukup panjang lagi. Berhubung antrian yang begitu panjang dan stamina yang sudah terkuras, kami memutuskan untuk tidak turun lagi. 

River View

Dari atas, kami dapat melihat sungai dan beberapa kapal yang sedang berlayar. Konon, dulu di dalam sungai tersebut ada Monster yang suka membuat banjir dan mencelakakan perahuperahu yang sedang berlayar. Jadi seorang biksu memutuskan untuk membuat patung Buddha ini dengan harapan dapat mengendalikan Monster tadi. Proyek ini sendiri sempat tertunda selama bertahun-tahun akibat masalah finansial. 


Di samping Giant Buddha tadi, ada sebuah kelenteng kecil yang sedang dibangun. Sewaktu perjalanan tadi, kami sempat melihat beberapa pekerja mengangkat sebuah kusen jendela. Sekitar enam pekerja mengangkat 1 kusen jendela sambil menaiki tangga. Terbayang ketika mereka memahat seluruh patung Buddha yang ada di dalam? Meski tiket masuknya cukup mahal, tapi worth to spent kok ;)


Jumat, 28 September 2012

Danau Lau Kawar yang Terlupakan




Judulnya agak sedikit seperti sinetron yah? Tapi memang itulah yang terjadi ketika pekan lalu saya dan tim kantor mengadakan acara kebersamaan di Danau Lau Kawar. Mulanya saat saya izin pada orang tua akan berangkat ke Lau Kawar, mereka bilang: "Buat apa ke sana? Dulu waktu muda kita udah pernah ke sana dan cuma lihat danau aja dan sepinya bukan main." Wah saya jadi agak goyah juga.
Rencananya, pulang dari kantor pukul 17.00 kami berangkat langsung tancap gas ke Brastagi, dengan estimasi pukul 19.30 sudah sampai di Brastagi dan masih sempat untuk masak-masak acara BBQ dan malamnya pesta durian! Rencana tinggal rencana... Pada hari H jam keberangkatan diundur lebih lama setengah jam, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pukul 17.40 kami baru jalan dari kantor dan tenyata... macet dimana-mana sampai ke arah Jamin Ginting. Ditambah hujan deras yang mengguyur kota Medan membuat jalanan semakin macet. Dalam hati kami tetap berharap agar Brastagi tidak turun hujan, karena bisa batal acara BBQnya. Yang tadinya berharap pukul 19.30 sampai di Brastagi, molor jadi pukul 21.00. 
Setelah bertanya pada beberapa warga, kami disarankan masuk di persimpangan Tugu Perjuangan Kota Brastagi melewati Kecamatan Simpang Empat menuju Danau Lau Kawar. Hampir kurang lebih empat puluh lima menit, kami sampai juga di Danau Lau Kawar dan langsung menuju Vila. Dalam kondisi letih, lapar ditambah kedinginan dan hujan yang ternyata juga mengguyur Kota Brastagi, kami harus mempersiapkan makanan. Jadilah dibagi tugas yang wanita mempersiapkan hidangan steamboat dan yang pria tugasnya BBQ. Suasana ricuh, berhubung kami berjumlah 15 orang dan hanya menyewa 1 Vila. Setengah jam kemudian, makanan semua siap disajikan ala kadarnya. Masih dengan batik yang melekat di tubuh, kami semua makan dengan riang. Usai menyantap makanan utama, lanjut dengan pesta Durian dan membersihkan seluruh peralatan memasak. Tibalah waktu tidur. Kamar hanya ada 2 ranjang dan di seluruh Vila hanya terdapat 1 kamar mandi, sementara kami ber-lima belas belum mandi. JENG JENG! Salah satu rekan segera menghubungi pengurus Vila untuk minta Extra Bed. Ada beberapa rekan yang mandi, ada juga yang tidak (termasuk saya, hehe). Pengurus Vila saja sampai terkejut melihat kami. Dengan adanya 3 Extra Bed dan 1 Sleeping Bed, sisa orang yang tidak dapat jatah terpaksa tidur di lantai alias 'susung gembung'. Saat itu sudah hampir pukul 12 malam. Kami rada menyesal juga kenapa nekad pergi ke Lau Kawar, danaunya tidak tampak sama sekali karena gelap tadi. Dan bisa di tebak, ada beberapa yang tidak bisa tidur ada yang hanya tidur-tidur ayam. Pukul 04.00 subuh salah satu teman kantor bangun karena tidak bisa tidur dan memutuskan untuk mandi saja, diikuti dengan teman-teman lain. Jadilah kami antri kamar mandi dari pukul empat pagi!
Perlahan, matahari mulai terbit dan pemandangan Danau yang semalam tidak kelihatan, mulai menunjukkan pesonanya. Ditemani Pop Mie sebagai sarapan dan pemandangan yang benar-benar indah adalah moemn yang terbayarkan setelah kelelahan semalam. Usai mandi, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sambil mengambil beberapa gambar.

Rumah Jeruk

Vila yang kamii tinggali mempunyai nama lain Rumah Jeruk. Saya kurang tahu darimana asal nama ini, dari bentuk tidak begitu mirip, sedangkan di belakang Vila memang ada perkebunan tapi bukan menanam jeruk melainkan tomat. Rumah Jeruk ini hanya ada 2 di Danau Laau Kawar dan menjanjikan pemandangan langsung menghadap Danau. Harga yang di tawarkan untuk menginap semalam cukup mahal menurut saya yaitu Rp. 1,280,000,- makanya kadang ada beberapa wisatawan yang memutuskan untuk ber-Kamping saja. 

Memancing di tengah Danau

Beberapa rekan saya memutuskan untuk menyewa sampan. Karena bosan menunggu antrian mengantri, mereka pun mencoba untuk memancing. Tapi apa daya mereka belum beruntung, tak ada satu ikan pun yang nyangkut di kail mereka. Ada juga sampan bermotor yang disewakan untuk berkeliling Danau.
Latar Belakang Gunung Sinabung

Saya pun tidak mau kalah untuk mencoba sensasi bersampan ria di tengah Danau. Air Danaunya berwarna kehijauan dan sangat tenang. Berada di tengah Danau sangat sepi, cocok untuk orang yang ingin beristirahat dari hiruk pikuk perkotaan. Meskipun weekend, tidak banyak pengunjung yang berada di Danau, hanya kami-kami saja. Batin saya sebenarnya sangat menyayangkan kondisi ini. Danau Lau Kawar sebenarnya punya potensi wisata yang sangat tinggi, akan tetapi jalan untuk masuk Vila masih rusak, meskipun jalan menuju Danau sudah rapi di aspal. Keindahan alam Danau Lau Kawar bisa dikembangkan lebih jauh, dengan berpromosi misalnya. Karena dulu Danau ini cukup tersohor, tetapi belakangan namanya malah terlupakan. Mudah-Mudahan saja pemerintah kota setempat bisa lebih serius dalam perkembangan objek wisata ini. Amin.


Sabtu, 01 September 2012

Pesta Pernikahan Tibetan


Malam pertama kami tiba di Lhasa, di hotel yang kami tempati disewa untuk acara pernikahan. Awalnya saya tidak tahu itu sebuah acara pernikahan, karena dari luar memang tidak tampak seperti pesta pernikahan pada umumnya. Lalu saya mendekati seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari lokasi, rupanya ia salah satu wisatawan yang berasal dari Taiwan. Dia sedang menunggu teman-temannya yang tampak sangat penasaran dengan pesta ini. Tidak lama kemudian, keluar dua wanita Tibetan, satu agak tua dan satu lebih muda. Musik pun mulai berdentang dan jogetlah mereka disusul teman-teman turis asal Taiwan ini. Mereka menari mengikuti gerakan si wanita tua yang belakangan saya tahu bahwa dia adalah ibunya mempelai. 

Mereka menari mengelilingi asap


Usai tarian habis, saya mengelilingi lokasi pesta. Lokasinya sendiri terdiri dari beberapa ruangan, ruangan-ruangan itu digunakan untuk makan, bermain mahyong, tempat masak atau bersembahyang. Ada satu ruangan paling besar (seperti aula) yang merupakan tempat kedua mempelai berada. Sayang sekali saya tidak sempat melihat kedua mempelai.

Menu makanan

Menu makanan yang dipilih adalah menu prasmanan dengan jenis sayur yang sangaattt banyaak. Kurang lebih ada sekitar lima puluhan jenis makanan, lima jenis kue/manisan. Makananya di letakkan di luar, mungkin di dalam ruangan tidak cukup saking banyaknya. Para tamu yang datang dipersilahkan mengambil makanan, kemudian menyantapnya di ruangan-ruangan tadi. Dengan ramah, ibu mempelai mempersilakan kami untuk menyicipi hidangan.


Takut jenis hidangannya tidak pas di lidah, maka saya memutuskan untuk tidak menyicipinya. Dan hanya mengabadikannya saja. Hotel tempat kami menginap ini meski hanya berbintang 3 namun sering di sewa untuk acara seperti ini, buktinya beberapa hari saya menginap disana selalu ada pesta pernikahan. 

NB: Foto diambil pukul 7 malam (masih terang ya!)

Kamis, 30 Agustus 2012

Jalan-Jalan: Surprising Tibet



Setelah menempuh perjalanan udara selama 2 jam dari Cheng Du, tepat di hari kemerdekaan Indonesia kemarin kami mendarat di Lhasa. Berhubung pesawat Air China yang kami tumpangi tidak begitu full, sesaat pilot mengumumkan pesawat akan mendarat sebentar lagi saya langsung pindah tempat duduk yang menghadap kaca. Dari atas, saya dapat melihat dataran Tibet dikelilingi oleh pegunungan Himalaya. Baru kali ini saya lihat pegunungan segitu banyaknya. Dan begitu kami mendarat, udara dingin langsung menyergap meski sedang musim panas. Kami disambut oleh guide local yang bernama Zhuo Ga. Ia mengalungi kami syal putih sebagai penyambutan. Kami keluar dari bandara melewati jalan tol di Tibet yang ternyata masih baru dan bersih, menurut Zhuo Ga sebelum jalan tol ini dibuat dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk sampai di Bandara Gong Ga. Tetapi sekarang hanya memakan waktu 45 menit dan hebatnya tidak dikenakan tarif sama sekali!  Hari pertama tiba adalah hari penyesuaian diri, kami disarankan untuk istirahat mengingat perbedaan ketinggian yang cukup drastis. Maklum saja kota Lhasa sendiri berada di ketinggian 4000an dpl. Berhubung rasa lapar dan penasaran dengan kota Lhasa, maka kami memutuskan untuk berjalan di sekitar hotel. Baru berjalan tidak sampai satu jam, mendadak kepala kami terasa berat dan badan rasanya lemas sekali. Setelah itu kami tidak berani banyak bergerak dan istirahat di hotel. Keesokan harinya kami diajak melihat Potala Palace yang terkenal itu. Potala Palace adalah istana musim dingin Dalai Lama yang dibangun oleh King Songsten Gampo. Untuk masuk ke dalam Potala Palace sendiri diberi batasan waktu, karena jumlah wisatawan yang terlalu banyak sementara di Potala Palace pintu-pintunya kecil. Di sekitar Potala Palace, banyak sekali Tibetan yang berkeliling untuk berdoa dan jumlahnya harus ganjil. Isi dari Potala Palace kebanyakan peninggalan Dalai Lama seperti ruang penyambutan, tempat semedi dan… berton-ton emas! Jadi emas-emas tadi berbentuk Stupa Funeral, yang dihiasi batu giok, permata dll dan isinya jenazah-jenazah Dalai Lama! Selama tiga hari di Lhasa, kebanyakan kami mengunjungi Monastery (tempat beribadah) ada Rongphu Monastery, Drepung Monastery, Sera Monastery yang isinya rata-rata sama: beberapa patung Buddha, Stupa Funeral dan tiga raja yang dianggap berjasa untuk Tibet salah satunya King Songsten Gampo tadi. Kami juga mengunjungi Barkhor street dimana kita dapat membeli berbagai pernak-pernik khas Tibetan. 



Baru di hari keempat kami diajak melihat Namtso Lake. Meski bukan danau terbesar di Tibet tetapi memiliki pemandangan yang indah, airnya jernih berwarna kebiru-biruan. Sepanjang perjalanan Lhasa-Gyangtse kami disuguhi pemandangan mulai dari pegunungan yang diselimuti gletser abadi, danau, pacuan kuda khas Tibetan dan hewan-hewan yang merumput. Kami menghabiskan malam di Gyangtse untuk perjalanan menuju Ting Ri, tempat terdekat melihat Everest. Kami diantar ke hotel untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan selama 4 jam. Karena bosan, kami berjalan-jalan di sekitar hotel yang ternyata sebuah daerah kecil yang hanya memiliki 3 jalan. Ting Ri sendiri berada di ketinggian 5000an dpl, suhunya mencapai 7 derajat celcius meskipun sedang musim panas! Hotel di Ting Ri menyediakan air panas pukul 9-12 malam, tetapi setelah di tunggu-tunggu air panas tak juga keluar malah semakin malam listrik semakin minim. Puncaknya adalah subuh, listrik seluruh hotel mati total! Alhasil kami membereskan barang-barang dan sarapan dengan menggunakan lilin. Rupanya bukan hanya hotel kami yang seperti itu, tetapi seluruh kota! Mungkin karena krisis listrik jadi pemerintah mematikan listrik pada jam-jam tertentu. Ampun deh. Setelah melihat Everest, kami langsung kembali ke Shigatse. Di Shigatse kami diajak melihat Ta Shi Lun Po Monastery yang merupakan tempat Benji Lama. Menurut Zhuo Ga, Dalai Lama dan Benji Lama mempunyai guru yang sama. Dalai Lama lebih 'populer' di Lhasa sedangkan Benji Lama di Shigatse. Di sana juga kami mengintip para biksu yang sedang asyik berlatih untuk pementasan. Esoknya kami kembali ke Lhasa. Satu hal yang menarik selama perjalanan pulang adalah cara pemerintah Cina mengatasi kecelakaan. Jadi perjalanan Shigatse-Lhasa ditaksir memakan waktu 6 jam, setiap berhenti di posko, kami ditandai jam masuknya dan jam boleh keluar di posko selanjutnya. Terus menerus hingga 4 posko. Jika kedapatan terlalu awal tiba di posko selanjutnya maka akan di denda 200RMB tiap menitnya. Selain mengurangi kecelakaan, membuat masyarakat sekitar (tempat  menghabiskan waktu) dapat mencari nafkah dengan berjualan. Di posko-posko itu saya singgah untuk ke toilet yang ternyata lebih parah dari Toilet di Cina! Tidak memiliki atap, tidak bersekat dan hanya terdapat 2 lubang untuk buang air. Iseng-iseng saya bertanya pada Zhuo Ga, bagaimana mereka mandi jika toilet mereka seperti itu? Menurut Zhuo Ga, mereka mandi setahun sekali! (jleb) itu juga menunggu aliran sungai tidak deras. Pantas di Tibet banyak sekali lalat berterbangan. Oh ya, langit Tibet baru gelap mejelang pukul 9 malam dan terang pukul 8 pagi. Tibet benar-benar surprising buat saya! Sampai jumpa di cerita Jalan-Jalan berikutnya. Amin.

Tips:
- Ke Tibet HARUS dengan tur dan memiliki Tibet Travel Permit (TTB).
- Bawalah paspor dan TTB selama di Tibet, karena ada pemeriksaan sewaktu-waktu.
- Cuaca di Tibet tidak menentu, jadi bawalah pakaian hangat untuk berjaga-jaga.
- Ada beberapa tempat di Tibet yang dilarang untuk mengambil gambar, jadi sebaiknya bertanya sebelum mengambil gambar.
- Jika sulit bernafas, di setiap tempat ada di jual tabung Oksigen dengan harga beragam.

Kamis, 07 Juni 2012

Resensi Novel : Selebriti by Alberthiene Endah


Novel yang saya baca kali ini ditulis oleh salah satu pengarang Top Indonesia, mba AE. Sebelum cetak ulang, novel Selebriti adalah salah satu novel yang sulit untuk di cari di rak buku. Bahkan di beberapa toko buku Gramedia tidak memiliki daftar novel ini di mesin pencari mereka. Dan ternyata setelah cetak ulang dengan cover baru, novel Selebriti sukses saya baca dalam dua hari.
Sinopsisnya:
Aisyah alias Icha, frustasi dengan hidup di desanya. Satu-satunya hal yang membuatnya lupa dengan rasa frustasinya adalah tayangan infotainment. Dari sana ia punya cita-cita yang tak lain adalah  berdekatan dengan dunia selebriti, menjadi bagian di dalamnya. Apalagi Deden, mantan pacarnya yang sudah menjadi make up artis dan homo, kini hidupnya lebih makmur. Nasib akhirnya membawa Icha ke Jakarta dan menjadi asisten artis! Dia pun menjelajahi nasib menjadi asisten Poppy, seorang penyanyi dangdut yang hobi mendekati pria-pria kaya yang sudah beristri ; Boyke, penyanyi rap penuh bakat tapi memiliki ketergantungan obat ; Donna, diva muda yang sangat sukses tapi psikopat dan kesepian. Apakah mimpi Icha tentang dunia selebriti seindah yang ia bayangkan? Beberapa peristiwa memebuatnya syok dan menerbangkannya ke gambaran yang sangat jauh dari yang ia duga. Ah, kesalahan itu terjadi pada segelintir selebriti saja. Tapi itu sudah cukup membawanya ke pencerahan baru dalam hidupnya!
Seperti ciri khas gaya penulisan Mba AE yang mengambil sudut pandang orang pertama dan dengan gaya bahasa yang sedikit hiperbola, Mba AE sukses membuat saya senyum-senyum sendiri membaca kisah Icha. Bagaimana antusiasnya dia saat bertemu dengan artis idolanya, berganti pengalaman menjadi asisten artis dari satu ke lainnya dan bagaimana ketika ia berusaha meraih impiannya. Meski ada beberapa kejadian yang  dirasa kurang masuk akal, seperti ketika pertemuan Icha dan Boyke serta kurang dijelaskan hubungan Reza dan Boyke. Lalu ketika Poppy dan Icha melarikan diri, adegannya kurang detil. Namun, novel Selebriti sangat layak untuk dibaca. Karena kisahnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.

Rabu, 25 April 2012

Sembilan


Matanya terus menerus menatap pada satu titik, tanpa menghiraukan percakapan dua ibu-ibu paruh baya di sampingnya. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, meski bau menyengat keluar dari ketiak-ketiak yang bergelantungan. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, walau #Bus Kota yang ia tumpangi hampir oleng karena terlalu sesak oleh penumpang. Sedangkan pikirannya  terdesak oleh uang setoran yang harus ia berikan sore ini. Tidak ada cara lain pikirnya. Usianya baru sembilan tahun saat itu. Ia mengintip sedikit ke wajah si pemilik dompet yang terlihat sedang memandang ke arah luar. Perlahan ia berusaha mengeluarkan dompet yang memang sudah menyembul dari balik kantong celana. Dengan satu tarikan, dompet itu kini telah berpindah tempat. Segera ia masukan ke dalam celana. Celana yang sudah berlubang di sana sini. Tapi si pemilik celana sama sekali belum berniat menggantinya. Ia melipat tangannya dan berjalan mundur menembus kumpulan manusia yang sedang berdiri di dalam #Bus Kota. Begitu melihat perempatan lampu merah, ia segera turun dan berlari. Kakinya baru berhenti berlari saat ia merasa aman untuk memeriksa dompet tadi. Ada beberapa lembar uang segar, kartu identitas penduduk, kartu nama, dan sebuah foto keluarga. Ia memutuskan untuk membakar kartu-kartu dan foto itu, sedangkan dompetnya ia ambil beserta uang di dalamnya. Bodoh juga pria tadi, uang segitu cukup untuk naik taksi pikirnya sambil memasukkan  uang tadi ke dalam ke sakunya. Tapi uang tadi tidak bertahan lama di sakunya. Adalah Bang Eno, preman terminal dan para anak buahnya yang mengambilnya.
“Lumayan untuk uang keamanan tiga hari!” kata salah satu anak buah Bang Eno sambil tertawa puas.
Anak laki-laki itu mengerang, memberontak, mengigit dan apa saja yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan sisa-sisa jerih payahnya. Tapi semakin keras ia memberontak, semakin keras juga pukulan yang ia terima. Saat itu cita-citanya adalah menjadi preman ketika ia dewasa nanti. Berkuasa.

***

Umurnya sembilan belas ketika ia mengganti cita-citanya. Tak ada lagi terminal, Bang Eno atau #Bus kota tempat ia mencopet dulu. Sekarang tempat itu telah rata oleh gedung perkantoran bertingkat. Hanya faktor keberuntungan yang membuat ia ddapat bekerja di dalamnya. Sebagai tukang suruh, atau bahasa kerennya Office Boy. Berhubung ada dua orang yang bernama sama dengannya, maka mereka menjulukinya Robin si OB. Pekerjaan itu tidaklah menjanjikan. Gajinya juga tidak sebanding dengan hasil copetannya dulu. Tapi satu hal, ia tidak perlu membagi gajinya kepada siapapun lagi. Dan para pegawai serta bos-bos di kantor sering memuji kopi dan indomie buatannya.
“Kamu harus buka kedai kopi, Bin.” puji Neina sekertaris Manager Personalia, ketika ia mencicipi kopi buatan Robin.
“Dan warung Indomie Kornet” tambah Robin, Staff Administrasi yang namanya sama dengan dirinya.
Berawal dari pujian-pujian itu, Robin si OB memiliki cita-cita baru. Membuka kedai kopi.

***

Usianya dua puluh sembilan ketika ia berhasil membuka Kedai Kopi Robin Hut, di salah satu kawasan perkantoran elite di ibu kota. Setahun setelah ia memutuskan cita-cita terakhirnya, Robin segera berupaya untuk mewujudkannya. Ia keluar dari pekerjaannya dan berangkat ke negeri tetangga menjadi TKW. Dengan janji bayaran dan fasilitas yang lebih tinggi, Robin mulai menyisihkan sedikit demi sedikit hasil jerih payahnya. Sewaktu libur, ia tidak pulang ke Indonesia. Toh aku juga tidak punya keluarga pikirnya. Waktu kosong itu, dimanfaatkan dengan bekerja paruh waktu di kedai kopi. Jika sebelumnya ia hanya memikirkan keinginan-keinginan, kali ini ia berusaha mencapainya. Setelah delapan tahun bekerja siang malam, jerih payahnya terbayar dengan berdirinya Kedai Kopi miliknya. Dan dari sana juga ia bertemu Sandra, seorang Banker muda yang sering datang ngopi di kedai. Sandra memang lebih dewasa lima tahun dari Robin, tapi perbedaan itu yang justru membuat Robin memikirkan cita-cita lainnya. Meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

***

Wajah Robin terlihat seperti orang yang berusia empat puluh sembilan tahun, padahal usia ia seseungguhnya adalah tiga puluh sembilan tahun. Ia mengalami penuaan dini karena rasa bersalah yang terus menghantuinya. Bagaimana tidak, tepat di hari ia melamar Sandra di rumahnya, ia bertemu dengan orang yang ia copet pertama kalinya di dalam #Bus Kota dua puluh tahun yang lalu. Orang itu adalah ayah kandung Sandra. Tentu saja calon mertuanya itu tidak dapat mengenali dirinya, berbeda dengan dirinya yang akan terus mengingat hari itu. Dan dari Sandra ia mendengar sebuah cerita. Cerita yang akan menggenapi #Cerita hari ini. Bahwa, di hari ibu kandungnya meninggal, ayahnya menarik sejumlah uang di bank untuk membeli darah. Tetapi siapa sangka, di tengah perjalanan kembali ke rumah sakit, ayahnya dicopet. Seluruh isi dompet, kartu identitas lenyap dalam sekejap. Akhirnya ibunya kehabisan darah dan meninggal. Sejak mendengar cerita itu, Robin selalu dihantui perasaan bersalah. Ia tidak percaya diri untuk mewujudkan cita-cita terakhirnya, yaitu menikahi Sandra.