Matanya terus menerus menatap pada satu
titik, tanpa menghiraukan percakapan dua ibu-ibu paruh baya di sampingnya.
Matanya terus menerus menatap pada satu titik, meski bau menyengat keluar dari
ketiak-ketiak yang bergelantungan. Matanya terus menerus menatap pada satu
titik, walau #Bus Kota yang ia tumpangi hampir oleng karena terlalu sesak oleh
penumpang. Sedangkan pikirannya terdesak
oleh uang setoran yang harus ia berikan sore ini. Tidak ada cara lain pikirnya.
Usianya baru sembilan tahun saat itu. Ia mengintip sedikit ke wajah si pemilik
dompet yang terlihat sedang memandang ke arah luar. Perlahan ia berusaha
mengeluarkan dompet yang memang sudah menyembul dari balik kantong celana.
Dengan satu tarikan, dompet itu kini telah berpindah tempat. Segera ia
masukan ke dalam celana. Celana yang sudah berlubang di sana sini. Tapi
si pemilik celana sama sekali belum berniat menggantinya. Ia melipat tangannya
dan berjalan mundur menembus kumpulan manusia yang sedang berdiri di dalam #Bus
Kota. Begitu melihat perempatan lampu merah, ia segera turun dan berlari.
Kakinya baru berhenti berlari saat ia merasa aman untuk memeriksa dompet tadi.
Ada beberapa lembar uang segar, kartu identitas penduduk, kartu nama, dan
sebuah foto keluarga. Ia memutuskan untuk membakar kartu-kartu dan foto itu,
sedangkan dompetnya ia ambil beserta uang di dalamnya. Bodoh juga pria tadi,
uang segitu cukup untuk naik taksi pikirnya sambil memasukkan uang tadi ke dalam ke sakunya. Tapi uang tadi
tidak bertahan lama di sakunya. Adalah Bang Eno, preman terminal dan para anak
buahnya yang mengambilnya.
“Lumayan untuk uang keamanan tiga hari!”
kata salah satu anak buah Bang Eno sambil tertawa puas.
Anak laki-laki itu mengerang, memberontak,
mengigit dan apa saja yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan sisa-sisa jerih
payahnya. Tapi semakin keras ia memberontak, semakin keras juga pukulan yang ia
terima. Saat itu cita-citanya adalah menjadi preman ketika ia dewasa nanti.
Berkuasa.
***
Umurnya sembilan belas ketika ia mengganti
cita-citanya. Tak ada lagi terminal, Bang Eno atau #Bus kota tempat ia mencopet
dulu. Sekarang tempat itu telah rata oleh gedung perkantoran bertingkat. Hanya
faktor keberuntungan yang membuat ia ddapat bekerja di dalamnya. Sebagai tukang
suruh, atau bahasa kerennya Office Boy. Berhubung ada dua orang yang bernama
sama dengannya, maka mereka menjulukinya Robin si OB. Pekerjaan itu tidaklah
menjanjikan. Gajinya juga tidak sebanding dengan hasil copetannya dulu. Tapi
satu hal, ia tidak perlu membagi gajinya kepada siapapun lagi. Dan para pegawai
serta bos-bos di kantor sering memuji kopi dan indomie buatannya.
“Kamu harus buka kedai kopi, Bin.” puji
Neina sekertaris Manager Personalia, ketika ia mencicipi kopi buatan Robin.
“Dan warung Indomie Kornet” tambah Robin,
Staff Administrasi yang namanya sama dengan dirinya.
Berawal dari pujian-pujian itu, Robin si OB
memiliki cita-cita baru. Membuka kedai kopi.
***
Usianya dua puluh sembilan ketika ia
berhasil membuka Kedai Kopi Robin Hut, di salah satu kawasan perkantoran elite
di ibu kota. Setahun setelah ia memutuskan cita-cita terakhirnya, Robin segera
berupaya untuk mewujudkannya. Ia keluar dari pekerjaannya dan berangkat ke
negeri tetangga menjadi TKW. Dengan janji bayaran dan fasilitas yang lebih
tinggi, Robin mulai menyisihkan sedikit demi sedikit hasil jerih payahnya.
Sewaktu libur, ia tidak pulang ke Indonesia. Toh aku juga tidak punya keluarga
pikirnya. Waktu kosong itu, dimanfaatkan dengan bekerja paruh waktu di kedai
kopi. Jika sebelumnya ia hanya memikirkan keinginan-keinginan, kali ini ia
berusaha mencapainya. Setelah delapan tahun bekerja siang malam, jerih payahnya
terbayar dengan berdirinya Kedai Kopi miliknya. Dan dari sana juga ia bertemu
Sandra, seorang Banker muda yang sering datang ngopi di kedai. Sandra memang
lebih dewasa lima tahun dari Robin, tapi perbedaan itu yang justru membuat
Robin memikirkan cita-cita lainnya. Meresmikan hubungan mereka ke jenjang
pernikahan.
***
Wajah Robin terlihat seperti orang yang
berusia empat puluh sembilan tahun, padahal usia ia seseungguhnya adalah tiga
puluh sembilan tahun. Ia mengalami penuaan dini karena rasa bersalah yang terus
menghantuinya. Bagaimana tidak, tepat di hari ia melamar Sandra di rumahnya, ia
bertemu dengan orang yang ia copet pertama kalinya di dalam #Bus Kota dua puluh
tahun yang lalu. Orang itu adalah ayah kandung Sandra. Tentu saja calon
mertuanya itu tidak dapat mengenali dirinya, berbeda dengan dirinya yang akan
terus mengingat hari itu. Dan dari Sandra ia mendengar sebuah cerita. Cerita
yang akan menggenapi #Cerita hari ini. Bahwa, di hari ibu kandungnya meninggal,
ayahnya menarik sejumlah uang di bank untuk membeli darah. Tetapi siapa sangka,
di tengah perjalanan kembali ke rumah sakit, ayahnya dicopet. Seluruh isi
dompet, kartu identitas lenyap dalam sekejap. Akhirnya ibunya kehabisan darah
dan meninggal. Sejak mendengar cerita itu, Robin selalu dihantui perasaan
bersalah. Ia tidak percaya diri untuk mewujudkan cita-cita terakhirnya, yaitu
menikahi Sandra.