Setelah
menempuh perjalanan udara selama 2 jam dari Cheng Du, tepat di hari kemerdekaan
Indonesia kemarin kami mendarat di Lhasa. Berhubung pesawat Air China yang kami
tumpangi tidak begitu full, sesaat pilot mengumumkan pesawat akan mendarat
sebentar lagi saya langsung pindah tempat duduk yang menghadap kaca. Dari atas,
saya dapat melihat dataran Tibet dikelilingi oleh pegunungan Himalaya. Baru
kali ini saya lihat pegunungan segitu banyaknya. Dan begitu kami mendarat,
udara dingin langsung menyergap meski sedang musim panas. Kami disambut oleh
guide local yang bernama Zhuo Ga. Ia mengalungi kami syal putih sebagai
penyambutan. Kami keluar dari bandara melewati jalan tol di Tibet yang ternyata
masih baru dan bersih, menurut Zhuo Ga sebelum jalan tol ini dibuat dibutuhkan
waktu 1,5 jam untuk sampai di Bandara Gong Ga. Tetapi sekarang hanya memakan waktu 45 menit dan hebatnya tidak
dikenakan tarif sama sekali! Hari
pertama tiba adalah hari penyesuaian diri, kami disarankan untuk istirahat
mengingat perbedaan ketinggian yang cukup drastis. Maklum saja kota Lhasa
sendiri berada di ketinggian 4000an dpl. Berhubung rasa lapar dan penasaran
dengan kota Lhasa, maka kami memutuskan untuk berjalan di sekitar hotel. Baru
berjalan tidak sampai satu jam, mendadak kepala kami terasa berat dan badan
rasanya lemas sekali. Setelah itu kami tidak berani banyak bergerak dan
istirahat di hotel. Keesokan harinya kami diajak melihat Potala Palace yang
terkenal itu. Potala Palace adalah istana musim dingin Dalai Lama yang dibangun
oleh King Songsten Gampo. Untuk masuk ke dalam Potala Palace sendiri diberi
batasan waktu, karena jumlah wisatawan yang terlalu banyak sementara di Potala Palace pintu-pintunya kecil. Di sekitar Potala Palace, banyak sekali
Tibetan yang berkeliling untuk berdoa dan jumlahnya harus ganjil. Isi dari
Potala Palace kebanyakan peninggalan Dalai Lama seperti ruang penyambutan,
tempat semedi dan… berton-ton emas! Jadi emas-emas tadi berbentuk Stupa
Funeral, yang dihiasi batu giok, permata dll dan isinya jenazah-jenazah Dalai
Lama! Selama tiga hari di Lhasa, kebanyakan kami mengunjungi Monastery (tempat beribadah) ada Rongphu Monastery, Drepung Monastery, Sera Monastery yang
isinya rata-rata sama: beberapa patung Buddha, Stupa Funeral dan tiga raja yang
dianggap berjasa untuk Tibet salah satunya King Songsten Gampo tadi. Kami juga mengunjungi Barkhor street dimana kita dapat membeli berbagai pernak-pernik khas Tibetan.
Baru di
hari keempat kami diajak melihat Namtso Lake. Meski bukan danau terbesar di
Tibet tetapi memiliki pemandangan yang indah, airnya jernih berwarna
kebiru-biruan. Sepanjang perjalanan Lhasa-Gyangtse kami disuguhi pemandangan
mulai dari pegunungan yang diselimuti gletser abadi, danau, pacuan kuda khas
Tibetan dan hewan-hewan yang merumput. Kami menghabiskan malam di Gyangtse
untuk perjalanan menuju Ting Ri, tempat terdekat melihat Everest. Kami diantar
ke hotel untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan selama 4 jam. Karena
bosan, kami berjalan-jalan di sekitar hotel yang ternyata sebuah daerah kecil
yang hanya memiliki 3 jalan. Ting Ri sendiri berada di ketinggian 5000an dpl,
suhunya mencapai 7 derajat celcius meskipun sedang musim panas! Hotel di Ting
Ri menyediakan air panas pukul 9-12 malam, tetapi setelah di tunggu-tunggu air
panas tak juga keluar malah semakin malam listrik semakin minim. Puncaknya adalah
subuh, listrik seluruh hotel mati total! Alhasil kami membereskan barang-barang
dan sarapan dengan menggunakan lilin. Rupanya bukan hanya hotel kami yang
seperti itu, tetapi seluruh kota! Mungkin karena krisis listrik jadi pemerintah
mematikan listrik pada jam-jam tertentu. Ampun deh. Setelah melihat Everest,
kami langsung kembali ke Shigatse. Di Shigatse kami diajak melihat Ta Shi Lun Po Monastery yang merupakan tempat Benji Lama. Menurut Zhuo Ga, Dalai Lama dan Benji Lama mempunyai guru yang sama. Dalai Lama lebih 'populer' di Lhasa sedangkan Benji Lama di Shigatse. Di sana juga kami mengintip para biksu yang sedang asyik berlatih untuk pementasan. Esoknya kami kembali ke Lhasa. Satu hal yang
menarik selama perjalanan pulang adalah cara pemerintah Cina mengatasi
kecelakaan. Jadi perjalanan Shigatse-Lhasa ditaksir memakan waktu 6 jam, setiap
berhenti di posko, kami ditandai jam masuknya dan jam boleh keluar di posko
selanjutnya. Terus menerus hingga 4 posko. Jika kedapatan terlalu awal tiba di
posko selanjutnya maka akan di denda 200RMB tiap menitnya. Selain mengurangi
kecelakaan, membuat masyarakat sekitar (tempat
menghabiskan waktu) dapat mencari nafkah dengan berjualan. Di
posko-posko itu saya singgah untuk ke toilet yang ternyata lebih parah dari
Toilet di Cina! Tidak memiliki atap, tidak bersekat dan hanya terdapat 2 lubang untuk buang air. Iseng-iseng saya bertanya pada Zhuo Ga, bagaimana mereka mandi jika toilet mereka seperti itu? Menurut Zhuo Ga, mereka mandi setahun sekali! (jleb) itu juga menunggu aliran sungai tidak deras. Pantas di Tibet banyak sekali lalat berterbangan. Oh ya, langit Tibet baru gelap mejelang pukul 9 malam dan
terang pukul 8 pagi. Tibet benar-benar surprising buat saya! Sampai jumpa di
cerita Jalan-Jalan berikutnya. Amin.
Tips:
- Ke Tibet HARUS dengan tur dan memiliki Tibet Travel Permit (TTB).
- Bawalah paspor dan TTB selama di Tibet, karena ada pemeriksaan sewaktu-waktu.
- Cuaca di Tibet tidak menentu, jadi bawalah pakaian hangat untuk berjaga-jaga.
- Ada beberapa tempat di Tibet yang dilarang untuk mengambil gambar, jadi sebaiknya bertanya sebelum mengambil gambar.
- Jika sulit bernafas, di setiap tempat ada di jual tabung Oksigen dengan harga beragam.