Rabu, 25 April 2012

Sembilan


Matanya terus menerus menatap pada satu titik, tanpa menghiraukan percakapan dua ibu-ibu paruh baya di sampingnya. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, meski bau menyengat keluar dari ketiak-ketiak yang bergelantungan. Matanya terus menerus menatap pada satu titik, walau #Bus Kota yang ia tumpangi hampir oleng karena terlalu sesak oleh penumpang. Sedangkan pikirannya  terdesak oleh uang setoran yang harus ia berikan sore ini. Tidak ada cara lain pikirnya. Usianya baru sembilan tahun saat itu. Ia mengintip sedikit ke wajah si pemilik dompet yang terlihat sedang memandang ke arah luar. Perlahan ia berusaha mengeluarkan dompet yang memang sudah menyembul dari balik kantong celana. Dengan satu tarikan, dompet itu kini telah berpindah tempat. Segera ia masukan ke dalam celana. Celana yang sudah berlubang di sana sini. Tapi si pemilik celana sama sekali belum berniat menggantinya. Ia melipat tangannya dan berjalan mundur menembus kumpulan manusia yang sedang berdiri di dalam #Bus Kota. Begitu melihat perempatan lampu merah, ia segera turun dan berlari. Kakinya baru berhenti berlari saat ia merasa aman untuk memeriksa dompet tadi. Ada beberapa lembar uang segar, kartu identitas penduduk, kartu nama, dan sebuah foto keluarga. Ia memutuskan untuk membakar kartu-kartu dan foto itu, sedangkan dompetnya ia ambil beserta uang di dalamnya. Bodoh juga pria tadi, uang segitu cukup untuk naik taksi pikirnya sambil memasukkan  uang tadi ke dalam ke sakunya. Tapi uang tadi tidak bertahan lama di sakunya. Adalah Bang Eno, preman terminal dan para anak buahnya yang mengambilnya.
“Lumayan untuk uang keamanan tiga hari!” kata salah satu anak buah Bang Eno sambil tertawa puas.
Anak laki-laki itu mengerang, memberontak, mengigit dan apa saja yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan sisa-sisa jerih payahnya. Tapi semakin keras ia memberontak, semakin keras juga pukulan yang ia terima. Saat itu cita-citanya adalah menjadi preman ketika ia dewasa nanti. Berkuasa.

***

Umurnya sembilan belas ketika ia mengganti cita-citanya. Tak ada lagi terminal, Bang Eno atau #Bus kota tempat ia mencopet dulu. Sekarang tempat itu telah rata oleh gedung perkantoran bertingkat. Hanya faktor keberuntungan yang membuat ia ddapat bekerja di dalamnya. Sebagai tukang suruh, atau bahasa kerennya Office Boy. Berhubung ada dua orang yang bernama sama dengannya, maka mereka menjulukinya Robin si OB. Pekerjaan itu tidaklah menjanjikan. Gajinya juga tidak sebanding dengan hasil copetannya dulu. Tapi satu hal, ia tidak perlu membagi gajinya kepada siapapun lagi. Dan para pegawai serta bos-bos di kantor sering memuji kopi dan indomie buatannya.
“Kamu harus buka kedai kopi, Bin.” puji Neina sekertaris Manager Personalia, ketika ia mencicipi kopi buatan Robin.
“Dan warung Indomie Kornet” tambah Robin, Staff Administrasi yang namanya sama dengan dirinya.
Berawal dari pujian-pujian itu, Robin si OB memiliki cita-cita baru. Membuka kedai kopi.

***

Usianya dua puluh sembilan ketika ia berhasil membuka Kedai Kopi Robin Hut, di salah satu kawasan perkantoran elite di ibu kota. Setahun setelah ia memutuskan cita-cita terakhirnya, Robin segera berupaya untuk mewujudkannya. Ia keluar dari pekerjaannya dan berangkat ke negeri tetangga menjadi TKW. Dengan janji bayaran dan fasilitas yang lebih tinggi, Robin mulai menyisihkan sedikit demi sedikit hasil jerih payahnya. Sewaktu libur, ia tidak pulang ke Indonesia. Toh aku juga tidak punya keluarga pikirnya. Waktu kosong itu, dimanfaatkan dengan bekerja paruh waktu di kedai kopi. Jika sebelumnya ia hanya memikirkan keinginan-keinginan, kali ini ia berusaha mencapainya. Setelah delapan tahun bekerja siang malam, jerih payahnya terbayar dengan berdirinya Kedai Kopi miliknya. Dan dari sana juga ia bertemu Sandra, seorang Banker muda yang sering datang ngopi di kedai. Sandra memang lebih dewasa lima tahun dari Robin, tapi perbedaan itu yang justru membuat Robin memikirkan cita-cita lainnya. Meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

***

Wajah Robin terlihat seperti orang yang berusia empat puluh sembilan tahun, padahal usia ia seseungguhnya adalah tiga puluh sembilan tahun. Ia mengalami penuaan dini karena rasa bersalah yang terus menghantuinya. Bagaimana tidak, tepat di hari ia melamar Sandra di rumahnya, ia bertemu dengan orang yang ia copet pertama kalinya di dalam #Bus Kota dua puluh tahun yang lalu. Orang itu adalah ayah kandung Sandra. Tentu saja calon mertuanya itu tidak dapat mengenali dirinya, berbeda dengan dirinya yang akan terus mengingat hari itu. Dan dari Sandra ia mendengar sebuah cerita. Cerita yang akan menggenapi #Cerita hari ini. Bahwa, di hari ibu kandungnya meninggal, ayahnya menarik sejumlah uang di bank untuk membeli darah. Tetapi siapa sangka, di tengah perjalanan kembali ke rumah sakit, ayahnya dicopet. Seluruh isi dompet, kartu identitas lenyap dalam sekejap. Akhirnya ibunya kehabisan darah dan meninggal. Sejak mendengar cerita itu, Robin selalu dihantui perasaan bersalah. Ia tidak percaya diri untuk mewujudkan cita-cita terakhirnya, yaitu menikahi Sandra. 

Jumat, 20 April 2012

Ikan Kaca



#Cerita hari ini tidak akan ada, jika setengah tahun yang lalu Raka tidak mengambil cuti untuk bulan madunya. Raka adalah salah satu rekanku di sebuah koran internasional. Jadi, hari selasa enam bulan yang lalu, aku berangkat menggantikan Raka ke sebuah perkampungan di daerah pesisir. Total 13 jam aku berada di perjalanan. Dua kali ganti kereta api dan sekali menumpang mobil angkutan barang untuk sampai di perkampungan itu. Tentunya rasa lelah luar biasa menghantamku, namun ini bagian dari resiko pekerjaan yang kupilih. Sebagai wartawan, aku harus mencari informasi hingga ke lubang tikus sekalipun. Angin dingin dan gerimis menyambut kedatanganku di perkampungan itu. Setelah bertanya kepada warga sekitar, aku dituntun menuju rumah kepala desa.
“Apa yang membuat kau datang kemari?” tanyanya ketika melihat kartu identitasku.
Kuceritakan apa yang membuatku rela naik kereta api selama sepuluh jam, ditambah tiga jam berada di samping supir angkutan barang.
“Jadi orang kota mulai tertarik dengan ikan kaca kami?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku mengangguk “Kalau diizinkan, saya akan menginap 2 malam di rumah bapak dan ikut nelayan pergi menangkap ikan kaca.” kataku langsung. Rasa kantuk dan lelah selama perjalanan mulai mengerogotiku. Kepala desa terlihat menimbang sejenak “Kamu bisa tidur dengan Budi, anak laki-laki saya. Soal izin ikut berlayar, kau tanyakan sendiri pada para nelayan itu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Ahmat, kepala desa. Hal pertama yang kulakukan adalah membasuh diri, mengingat kurang lebih 13 jam aku belum membersihkan diri. Untuk sementara, badanku kembali segar. Aku meminta Budi untuk menemaniku menemui para nelayan. Seperti kata kepala desa, agak sulit membujuk mereka. Namun setelah kujanjikan akan ikut membayar sewa kapal, mereka setuju.

***
Bergulung-gulung ombak menghantam kapal kami. Dengan pencahayaan seadanya, kapal kami menjadi terang di antara gelapnya pagi. Perutku mulai terasa mual dan angin dingin membuat wajahku kebas. Entah berapa kali air masuk ke dalam kapal kami. Bukan perkara mudah menangkap ikan batinku. Setelah beberapa saat, kapal pun berhenti. Dengan terlatih, para nelayan mulai menebarkan jala dan setelah penuh, jala akan diangkat dengan cara ditarik. Aku ikut membantu mereka menarik jala. Kulihat dari jaring-jaring jala itu, sesuatu yang berkilauan. Ikan kaca. Aku mendekatkan diri berusaha melihat lebih dekat. Kulit ikan itu seperti dibalut aluminium. Siripnya bening, dan panjangnya sekitar 90 cm. Segera ku keluarkan kamera untuk mengabadikan ikan kaca itu. Entah apa rasanya pikirku. Kesempatan mencicipi ikan kaca justru datang malamnya. Budi mengajakku ke warung milik pacarnya.
“Kenalin, ini Fitri pacarku” kata Budi.
Gadis itu tersenyum dan mengulang namanya.
“Satria” kataku memperkenalkan diri.
Fitri membawa tiga piring nasi, satu lalapan dan tiga ekor ikan kaca yang telah dimasak.
“Ayo dicoba” tawar Fitri yang segeraku iyakan.
Memang hanya ikan kaca itu yang membuatku penasaran. Sebelum mencoba, aku mengeluarkan kamera dan mengambil gambar masakan Fitri. Rasanya seperti ikan biasa, tapi dagingnya lembut dan segar.
“Enak kan? Di kampung ini, warung Fitri terkenal dengan masakan ikan kaca bakarnya” kata Budi sembari berpromosi.
Aku mengangguk. “Enak banget! Tapi rasanya sedikit manis ya?”
Fitri dengan semangat menceritakan proses pembuatan ikan bakarnya. Suaranya berbaur dengan hujan deras di luar. Hingga kami selesai makan, hujan masih saja deras. Membuat aku tak bisa pulang dan beristirahat. Sedangkan Budi, terlihat asyik mengobrol dengan pacarnya.
“Jadi ibu kota itu seperti apa?” tanya Fitri tiba-tiba.
Bingung harus menjawab apa, aku mengambil kameraku dan memberikannya pada Fitri “Di dalam ada foto ibu kota”
Ia dan Budi melihat dengan antusias. Di dalam kamera itu ada foto gedung kantorku, foto-foto demonstran yang menolak kebijakan pemerintah, foto jembatan rusak, foto banjir dan segala sesuatu yang kuliput.
“#Matahari yang cantik” gumam Fitri.
Rupanya mereka terhenti di foto yang iseng kuambil dari atap kantorku. Matahari senja dikelilingi gedung bertingkat.
“Suatu saat aku akan melihatnya langsung” kata Fitri sambil mengembalikan kameraku.
“Kita” tambah Budi mantap.
Aku menatap mereka berdua “Melihat ibu kota?”
Fitri menggeleng. “Melihat #Matahari”
Kali ini aku tertegun. “Memang di sini tidak ada #Matahari?”
“Memangnya kamu pernah melihat #Matahari di sini?” tanya Budi balik.
Memang selama dua hari ini, langit terlihat mendung. Tapi aku mengira itu karena musim hujan.
“Selama dua puluh tahun aku tinggal disini, tidak pernah sekalipun #Matahari terbit. Kata ibuku, mungkin jika langit kami terang, pasti laut kami akan bercahaya karena terpantul oleh kulit ikan kaca”
Aku membayangkan ucapan Fitri. Sepanjang malam kami sibuk membahas 'keajaiban' di kampung mereka. Dalam hati aku mencatat setiap informasi baru yang mungkin berguna untuk artikelku.

***

Kereta api itu berjalan lambat. Kereta api yang sama ketika membawaku enam bulan yang lalu, tapi kali ini dengan penumpang berbeda. Dari jauh, aku melihat Budi dan Fitri tergopoh-gopoh dengan bawaan mereka. Segera aku menghampiri mereka.
“Satria!” teriak Budi.
Hari ini, enam bulan sejak pertemuanku dengan Fitri dan Bayu, kami berjumpa kembali. Dari surat yang dikirim Fitri sebelum mereka datang, ia menceritakan bahwa sejak kedatanganku enam bulan yang lalu, hidup mereka berubah. Banyak orang asing yang penasaran dengan ikan kaca, dan ingin mencicipinya langsung. Karena itu, warung ikan kaca bakar milik Fitri mulai ramai dipenuhi wisatawan. Bahkan menteri perikanan sempat datang berkunjung kesana. Jalanan ikut di aspal, karena waktu itu menteri akan datang. Menteri juga berjanji akan membantu mereka dalam mendapatkan listrik yang memadai. Pendapatan penduduk pun sedikit membaik, karena mereka juga menyediakan penginapan di rumah mereka. #Matahari tetap tidak terbit di perkampungan itu, tapi secercah harapan baru terbit di hati setiap penduduk perkampungan.
“Ayo! #Matahari sudah menunggu kalian.” kataku. Oh ya, istriku juga bernama #Matahari.

Resensi Novel: I Hate Rich Men


Berhubung GPU memberikan diskon dalam rangka ultah yang ke 38, tentu saya ikut memborong buku-buku incaran. Salah satunya adalah novel I Hate Rich Men. Dalam dua hari, saya sukses melahap habis novel ini. Apalagi kalau bukan rasa penasaran dengan kisah Miranda dan Adrian. Dan Virginia sukses menuliskan bab demi bab dengan rapi dan diselipi kejutan-kejutan yang tak terduga! Membuat saya ingin terus membalik halaman demi halaman hingga akhir. Akhir dari novel yang biasa selalu di tunggu-tunggu juga sangat memuaskan. Novel ini saya beri angka 4.5 dari 5, berikut sinopsisnya versi saya.

Ditinggal mati kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan mengharuskan Miranda menjadi kakak sekaligus single parent untuk Nino. Untungnya Nino bukan tipikal anak bandel, malah membanggakan Miranda. Nino adalah juara pertama di sekolahnya dan mendapat beasiswa ke Amerika! Yang berarti akan membuat Miranda berpisah dari adiknya selama 4 tahun lamanya. Tentu saja perang batin melanda Miranda, karena selama ini mereka belum pernah berpisah dalam jangka waktu yang lama apalagi terpisah oleh jutaan kilometer. Dan sebelum mereka benar-benar akan berpisah, Nino akan pergi berwisata ke Bali selama sepuluh hari dalam rangka perpisahan murid kelas 12. Miranda menganggap itu sebagai latihan kecil sebelum Nino berangkat ke Amerika.
Tepat di hari keberangkatan Nino ke Bali, Miranda diculik!
Betapa terkejutnya Miranda ketika ia membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di Bali, satu hotel dengan Nino dan tentu saja penculiknya! Penculiknya adalah Adrian Aditomo. Seorang konglomerat yang namanya sering wara wiri di kolom-kolom majalah bisnis maupun lifestyle. Miranda pernah bertemu sekali dengan Adrian, tapi sayang pertemuan pertama itu tidak bisa dibilang baik. Tapi itu bukan alasan Adrian menculik Miranda. Adrian menuduh Nino merebut tunangannya. Sontak Miranda tidak percaya, secara Nino baru berusia 17 tahun dan tidak mungkin menyukai wanita yang lebih tua darinya apalagi milik orang lain! Demi mencari tahu kebenaran, Miranda sepakat dengan Adrian untuk memata-matai Nino. Selama 10 hari di Bali, berduaan dan disuguhi pemandangan yang indah, membuat Miranda justru jatuh cinta pada Adrian. Tapi perasaan itu segera ditepisnya jauh-jauh karena ia membenci pria kaya bahkan jauh sebelum ia bertemu Adrian. Pria kaya terlalu arogan dan biang masalah dalam hidupnya. Ditambah Adrian telah bertunangan. Tidak ada dalam kamusnya merebut milik orang lain. Walau begitu pikirannya menyuruh ia untuk menjauhi Adrian, sementara perasaannya berkata sebaliknya. Mana yang akan dipilih Miranda?



Rabu, 11 April 2012

Gadis Berpayung Oranye


#Cerita hari ini tentang seorang gadis berpayung oranye. Dari mama aku tahu kalau rumah di ujung jalan itu telah ditempati keluarga baru. Keluarga gadis itu. Kesempatan berkenalan kudapat dari tempat les piano, Madam Irama. Pemiliknya seorang wanita tengah baya bernama Irama, dia terkenal akan kedisiplinannya dalam berlatih dan mengajar. Gadis itu seorang pianis yang berbakat. Lewat jadwal latihan yang ketat, dia selalu berhasil mendapat peringkat pertama. Karena tempat les Madam Irama berada di dalam komplek perumahan kami, setiap pulang les kami selalu berjalan pulang. Dia di depan dengan payung oranyenya dan aku di belakang memandanginya. Selalu begitu, meski tidak ada hujan dia tetap dengan payung oranyenya. Dua hari dalam seminggu kami bertemu dan hanya melontarkan senyum kecil. Begitu seterusnya hingga suatu hari di musim hujan.
Dia dengan payung oranyenya telah bersiap pulang sementara aku duduk melamun diiringi tumpahan hujan.
“Mau bareng?” tanya gadis itu lembut.
Aku menengadah memandang wajahnya yang sedang tersenyum lalu beralih ke arah langit. Sudah setengah jam dan belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Pandanganku terhenti pada payung oranye itu.
“Payungku cukup lebar untuk kita berdua” katanya lagi seolah dapat membaca pikiranku.
Buru-buru aku tersenyum “Aku mau. Makasih, sebelumnya....”
Gadis itu balas tersenyum “Risna, namaku Risna.”
“Namaku, Jingga” jawabku. Sebenarnya aku sudah tahu nama gadis itu. Cuma rasanya kurang pas jika aku langsung menyebut namanya karena kami belum pernah berkenalan resmi.
Sejak saat itu kami jadi akrab. Risna, gadis yang menyenangkan dan tidak pelit ilmu. Kadang, aku diajak bertandang ke rumahnya yang bekas rumah Bu Cokro. Rumah itu tidak terlalu banyak mengalami perubahan, hanya beberapa perabot yang letaknya diubah dan warna dinding yang dicat baru. Ibunya Risna, tante Eni adalah orang yang pendiam. Tapi pandai memasak. Dia tidak bisa membiarkan tamu pulang dengan perut kosong. Risna, punya saudara kembar. Namanya Risma.
“Kalian seperti pinang dibelah dua” komentarku usai berkenalan dengan Risma.
Risna tersenyum seperti biasa. “Ibuku kadang tidak bisa membedakan kami”
Aku tidak terkejut. Memang mereka terlampau mirip. Mulai dari wajah, potongan rambut, bahkan belahan rambut semua persis. Secara fisik mereka persis. Tapi dari segi sifat jelas berlawanan. Seperti kedua ujung #Magnet yang saling bertolak belakang. Itu kusadari setelah beberapa kali main ke rumah Risna. Jika Risna kelihatan lemah, justru Risma sebaliknya. Dari mata dan gerak-geriknya, Risma terlihat sangat.... liar. Pulang ke rumah selalu bersama segerombolan teman lelaki dan itu pun hanya untuk mengisi perut dengan masakan tante Eni. Risna kelihatan takut dengan adik kembarnya itu.
“Apa rasanya punya saudara kembar?” tanyaku suatu ketika.
Risna berhenti memainkan piano. Wajahnya balik memandangku. “Sama seperti mempunyai saudara lelaki”
Pikiranku melayang pada, Biru. Abang lelakiku.
“Aku punya seorang abang, tapi kami berbeda 10 tahun. Dan dia sudah lama merantau” kataku.
“Risma itu orangnya nekad dan temannya semua laki-laki. Sepertinya dia mempunyai sebuah geng dan dia punya kuasa yang cukup tinggi di sana”
“Dari mana kamu tahu?”
Risna mengangkat bahu “Entah. Perasaanku bilang seperti itu”
Kata orang, saudara kembar memiliki kontak batin. Mungkin sama seperti hubungan Risna dan Risma.
“Aku beri tahu satu rahasia” kata Risna tiba-tiba.
“Tentang?” tanyaku heran.
Risna menjulurkan tangan kanannya, perlahan ia membuka telapak tangannya “Lihat, tahi lalat ini punyaku. Punya Risma ada di sebelah kiri telapak tangannya. Itu cara membedakan kami”
Kami bertatapan lama. “Aku juga punya rahasia” kataku pada akhirnya. Aku menceritakan tabungan yang rutin dikirim kak Biru, tabungan itu sengaja dikirim oleh kak Biru untuk biaya pendidikanku kelak. Dan aku menceritakan itu pada Risna, karena dia mempercayaiku.

*****
Sehari sebelum ujian piano Grade 8 dimulai, Risna tiba-tiba mendatangiku. Tepat dua bulan setelah aku menceritakan soal tabungan yang dikirim kak Biru.
“Jingga, kamu percaya padaku kan?” tanya Risna.
Aku mengangguk mantap.
“Pinjami aku uang”
Jeda sesaat sebelum Risna melanjutkan “Mama sakit dan itu semua gara-gara Risma. Dia ketahuan menunggak uang sekolah selama tiga bulan. Dan sering mencuri uang mama”. Sebulir air mata mengalir di pipinya.
“Kamu butuh berapa?” tanyaku.
Tangan kanan Risna membentuk angka lima “Lima juta. Untuk membayar uang sekolah dan membawa mama berobat”
Tidak ada tahi lalat di sana. Mendadak wajahku kaku. “Kamu bukan Risna” kataku dingin.
“Apa maksudmu?” tanya Risma.
Kuambil telapak tangan kirinya dan menunjukkan tahi lalat itu. Sontak Risma menarik tangannya kembali. “Brengsek, jadi Risna memberitahu rahasia kami” Risma mendengus marah. Tanpa banyak bicara, dia langsung berjalan keluar rumah. Tentu saja tanpa payung oranye.

*****  
Ruang meeting hotel berbintang sekarang beralih fungsi menjadi tempat ujian piano Grade 8. Aku mendapat giliran ketiga untuk tampil. Madam Irama telah sibuk mendata murid dan mendampingi mereka. Kegugupan membanjiri kami dan aku yakin itu juga yang dirasakan Madam Irama. Aku sukses memainkan 3 lagu yang menjadi materi ujian sekaligus bernyanyi solfegio. Madam Irama menyambutku dengan penuh senyuman usai tampil.
“Bagus, Jingga” pujinya. Aku tersenyum. Dari sudut mataku, aku menangkap sosok Risna sedang duduk menanti antrian. Kalau tidak salah dia mendapat giliran ketujuh untuk tampil. Perlahan aku menghampirinya, di luar hujan mulai turun. Risna terlihat pucat dan terkejut ketika aku berada di sisinya.
“Ris, kamu baik-baik aja”
“Risma dalam bahaya, Jingga. Aku harus pergi menolongnya” katanya sambil bangkit dari kursinya. Madam Irama tampaknya tidak memperhatikan kami.
“Tenang dulu, Ris. Memangnya kamu tahu Risma dimana?” cegatku.
“Aku nggak tahu. Tapi aku harus pergi. Perasaanku benar-benar nggak enak” katanya sambil berlari meninggalkanku.
Dua kali aku berteriak memanggilnya, namun ia terus berlari. Payung oranye tertinggal di kursi Risna. Segera aku menyambarnya dan berlari menyusul. Di luar hujan turun sangat lebat, aku membuka payung oranye itu dan mencari Risna. Terlihat beberapa satpam berkumpul mengerubungi sesuatu. Penasaran aku mendekat, dan betapa paniknya aku saat mendapati tubuh Risna bersimbah darah dan tergeletak di aspal.

*****
Tahi lalat itu kini sepasang. Aneh memang. Tapi itulah yang kulihat ketika Risma menaburkan bunga di makam Risna. Baru kali itu aku melihat Risma menangis tersedu-sedu. Sedangkan tante Eni lebih terlihat seperti orang linglung. Raganya berada di pemakaman tetapi jiwanya mati bersama Risna. Dan baru kali itu, aku melihat sosok ayah kandung Risna-Risma. Menurut tetannga, tante Eni adalah istri simpanan yang rutin mendapat nafkah dari suaminya.
Di ujung jalan terlihat mobil polisi yang sedang menanti. Menanti Risma, tepatnya. Dia menjadi saksi dari kasus penusukkan yang dialami Risna. Sebenarnya sasarannya adalah Risma, tapi mereka salah mengenali orang. Motifnya untuk sementara karena balas dendam antar geng. Semua dia yang memulai, tapi kakaknya yang mengakhiri. Apapun itu, tak ada lagi gadis berpayung oranye.